Friday, 19 July 2013


”Spinal cord injury adalah kerusakan medulla spinalis akibat trauma dan non trauma yang menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative ( bledder dan bowel ), dan gangguan fungsi seksual”[1]. Kejadian Spinal cord injury akibat oleh trauma biasanya lebih sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja yang akan menyebabkan fraktur pada vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada medulla spinalis. Pada non trauma biasanya disebabkan karena adanya infeksi yang menyerang pada collumna vertebralis sehingga merusak dapat merusak bagian dalam dari medulla spinalis.

Adapun peran fisioterapi dalam keadaan tersebut benar-benar harus intensif agar dapat meminimalkan kecacatan dan mencegah terjadinya komplikasi. Untuk itu fisioterapi selaku bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu atau masyarakat yang berfungsi dalam hal memelihara, memulihkan dan mengembalikan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan sangat berperan dalam keadaan tersebut.


Spinal Cord Injury
Spinal Cord Injury adalah suatu disfungsi dari medula spinalis yang mempengaruhi fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada tractus sensori motor dan percabangan saraf-saraf perifer dari medula spinalis ( Quick Refference to Physiotherapy 1999 ).
Spinal Cord Injury adalah kerusakan medula spinalis akibat trauma dan non trauma/infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetatif ( bladder dan bowel ), dan gangguan fungsi seksual.
1.   Etiologi
Faktor penyebab terjadinya lesi pada medula spinalis, terbagi menjadi dua yaitu :
a.       Trauma : Kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, jatuh, luka tembak,  luka tusuk, kecelakaan olahraga.
Cedera yang terjadi karena trauma dapat mengenai seluruh anggota tubuh dari kepala hingga kaki dan dapat mengenai organ dalam tubuh. Salah satu jenis trauma yang dapat terjadi adalah fraktur. Fraktur yang terjadi dapat mengenai anggota gerak tubuh maupun tulang belakang sehingga mengenai medula spinalis yang menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan pada anggota gerak bawah.
b.   Non trauma disebabkan karena faktor patologi ataupun kerusakan pada medula spinalis seperti pada kondisi arterial, venous malfunction, trombosis, emboli, Infeksi, tumor spinal, RA, kelainan bawaan ( Spina Bifida ),  multiple sclerosis, penyakit degeneratif sendi, dll.
2.   Patofisiologi
Mekanisme terjadinya injury, akan berpengaruh terhadap derajat dan type SCI,  yang terdiri atas :
a.       Ruptur Discus Intervertebralis
1)      Hiperekstension injury, umumnya terjadi pada cervical (whiplash injury), karena tertabrak dari belakang.
2)      Luka tembak atau luka tusuk yang mengakibatkan rusaknya medula spinalis dan vascularisasinya.
 
b.      Burst Injury
Corpus remuk dan pecahannya akan menusuk medulla spinalis.
c.       Compression Injury
Trauma vertical yang menyebabkan medula spinalis terjepit.
d.      Flexion Injury
Terjadi hiperfleksi leher, sehingga medula spinalis menjadi terulur / teregang.
e.       Flexion Rotation Cord Injury
Terjadi akibat trauma deformasi, sehingga struktur penyangga spine tidak  mampu mengakomodasi.
f.       Kerusakan Neural
Trauma pada spinal cord yang menyebabkan kerusakan primer pada saraf, kerusakan dapat karena adanya contusio, spinal shock dapat berupa hilangnya sensory, voluntary, motor dan autonom control di bawah level lesi terjadi setelah trauma. Perubahan substansi pada white matter dimulai dari Wallerian degeneration dalam kolom posterior ascenden di atas level traktus corticospinal decenden.
g.      Perubahan aliran darah
§  Adanya patchie kemudian terjadi perdarahan setelah beberapa jam SCI karena kerusakan endhotelium patologi koagulasi pembuluh darah.
§  Ischemia dan nekrosis pada grey matter.
§  Pembengkakan akson dan peningkatan permeabilitas pembekuan darah.
§  Perubahan tekanan sistemik berpengaruh pada perubahan aliran darah  spinal yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan saraf.
h.      Disfungsi Sinaptic
SCI menyebabkan ion kalsium menyumbat sel, transport mitokondria terputus dan mengaktifkan pospolipase, iskemik pada area injury mungkin akan menyebabkan serotin, prostaglandin yang semuanya dapat menyebabkan vasokontriksi.
 
 
3.   Manifestasi Klinis
Apabila medula spinalis cedera secara complete tiba-tiba, maka 3 fungsi yang terganggu antara lain : Seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi ini dapat berlangsung dari beberapa jam, beberapa minggu, beberapa bulan. Fase selanjutnya yang diikuti spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali.
4.   Syndroma SCI
a.       Brown Sequard Syndrom
Ciri khas dari syndrom ini yaitu kerusakan pada satu sisi spinal cord. Terdapat kelemahan pada sisi ipsilateral. Kerusakan columna lateris menyebabkan adanya refleks yang abnormal. Seringkali terjadi spastisitas pada otot sisi ipsilaterl di bawah level lesi. Akibat dari kerusakan pada columna dorsalis, yaitu hilangnya propriosepsi, kinesthesia, dan sensasi vibratorik.
b.      Anterior Cord Syndrom
Sering terjadi akibat trauma fleksi dan sebagai akibat dari kekurangan suplai darah dari arteri spinalis anterior. Kerusakan pada sisi anterior dan anterolateral mengakibatkan gangguan motor function bilateral, nyeri dan gangguan temperatur, yang berhubungan dengan adanya hambatan pada traktus spinotalamik anterior dan lateral serta pada traktus kortikospinal.
c.       Central Cord Syndrom
Seringkali disebabkan oleh trauma hiperekstensi cervical. Cirinya yaitu terdapat gangguan neurologi yang lebih berat pada upper ekstremitas dari pada lower ekstremitas. Serabut saraf perifer tidak terkena, sehingga fungsi dari organ yang dipersarafi oleh segmen thoracal, lumbal dan sacral tetap normal.
d.      Posterior Cord Syndrom
Kasus ini jarang terjadi, gangguannya berupa gangguan motor function, nyeri dan sensasi terhadap sinar. Hilangnya propriosepsi pada level di bawah lesi menyebabkan pola jalan dengan base yang lebar.
e.       Cauda Equina Syndrom
Cidera pada akar saraf lumbosacral di dalam saluran saraf, yang mengakibatkan hilangnya reflek BAK, BAB, dan reflek pada lower ekstrimitas.
5.   Stadium SCI
a.       Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya :
1)      Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.
2)      Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi dalam.
3)      Gangguan fungsi autonom ( bladder, bowel, dan seksual )
Di sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila sudah penuh.
4)      Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.
5)      Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang terlalu cepat.
b.      Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan), yang dibagi dalam kriteria:
1)      Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
2)      Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
3)      Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/ motorik/ vegetatif,  lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
4)      Kriteria 4
 Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
c.   Fase kronik (di atas 3 bulan), cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu :
a)      Setelah fase recovery kondisi pasien complete/ incomplete, maka timbul gerakan vital sign menurun.
b)      Autonomic dysrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom. Fenomena yang tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat, kedinginan,  muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.
6.   Klasifikasi SCI menurut ASIA
Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakannya. Kerusakan atau injury pada medula spinalis dapat terjadi pada Upper Motor Neuron (UMN) ataupun Lower Motor Neuron (LMN). Kerusakan pada UMN akan menyebabkan spastik atau hiper refleksia, sedangkan untuk LMN akan menyebabkan beberapa gangguan berupa flaksid, di samping masih ada gangguan lain seperti bladder and bowel, gangguan fungsi pernapasan, gangguan fungsi seksual.
ASIA mengklasifikasikan menjadi dua berdasarkan dari fungsi yang masih ada, yaitu SCI lesi complete dan SCI lesi incomplete. Lesi complete adalah hilangnya fungsi sensorik motorik di bawah level lesi yang bisa disebabkan transeksi, kompresi ataupun difusi vaskuler. Lesi incomplete adalah hilangnya sebagian fungsi sensorik motorik di bawah level injury, biasanya disebabkan oleh kontusio pada fragmen tulang, jaringan lunak atau oedem pada spinal canal.
7.   Level SCI
SCI diberi nama sesuai dengan level kerusakan neurology yang terkena (Ragnarsson, 1993; Farcy dan Rawlins, 1993). Kerusakan pada sistem motorik dan sensorik digunakan untuk mengidentifikasi level kerusakan. The American Spinal Injury Association (ASIA) telah membuat suatu standar untuk assessment dan klasifikasi yang biasa digunakan pada kondisi SCI. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a.      Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan sensori level. Sensori level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes ini terdiri dari 28 tes area dermatom yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul dan sentuhan sinar, dengan kriteria penilaiannya sebagai berikut :
Nilai  0                    : tidak ada dapat merasakan ( absent ).
Nilai  1                    : merasakan sebagian ( impaired ).
Nilai  2                    : dapat merasakan secara normal.
NT ( not testable )   :  diberikan pada pasien yang tidak dapat    merasakan karena tidak sadarkan diri.
b.      Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan motorik levelnya. Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan motorik lebih sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak adanya innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala penilaian sebagai berikut :
  Nilai
  Huruf
 Skala
                     Definisi
     0
 
Zero
Tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi.
     1
( Tr )
Trace
Ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan
     2-
( P-)
Poor minus
Ada gerakan ½ ROM, tidak dapat melawan gravitasi
     2
( P)
Poor
Gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan gravitasi.
     2+
(P+)
Poor plus
Gerakan dengan ROM penuh tanpa melawan gravitasi dan ½ ROM dengan melawan gravitasi.
     3-
(F-)
Fair minus
Idem  dengan  2+
     3
(F)
Fair
Gerakan penuh melawan gravitasi
     3+
(F+)
Fair plus
Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan minimal.
     4
(G)
Good
Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan.
     5
(N)
Normal
Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan maksimal.
 
Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle testing ini biasanya dilakukan pada daerah myotom, antara lain :
C 5      : Fleksi siku ( m. biceps, m. brachialis )
C 6      : Ekstensi pergelangan tangan ( m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis )
C 7      : Ekstensi siku ( m. triceps )
C 8      : Fleksi digitorum profundus jari tengah (m. fleksor    digitorum profundus)
Th 1     : Abduksi digiti minimi (m. abduktor digiti minimi )
L 2       :  Fleksi hip ( m. iliopsoas )
L 3      : Ekstensi knee ( m. Quadriceps )
L 4       : Dorso fleksi ankle (m.  tibialis anterior )
L 5       : Ekstensi ibu jari kaki (m.  ekstensor hallucis longus )
S 1       : Plantar fleksi ankle (m.  gastrocnemius, m. soleus )
 
c.       Pemeriksaan neurology level
Pemeriksaan ini dilakukan unutuk mengetahui batas kaudal dari segment medulla spinalis yang fungsi sensorik dan motoriknya normal.
Selain berdasarkan pemeriksaan kerusakan sensorik dan motorik,  ASIA juga membagi SCI berdasarkan derajat kerusakan yang timbul :
 
American Spinal Injury Association Impairment Scale (AIS)
A : Komplit. Tidak ada respon fungsi sensorik dan motorik sampai       dengan level S4 – 5
B : Inkomplit. Respon sensorik ada, tapi fungsi motorik tidak ada sampai  dengan neurologi. Fungsi sensorik normal sampai level S4-5.
C : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function ada di bawah level neurologis, dan lebih dari 50%%% otot-otot yang dipersarafi sesuai area dermatomnya  memiliki nilai MMT kurang dari 3.
D : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function di bawah level neurologis tidak berubah dan mayoritas key muscle di bawah level neurologis memiliki nilai MMT lebih atau sama dengan 3.
E :   Normal : Fungsi sensorik dan motorik normal.
 
Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :
1)      Paraplegi      : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
2)      Quadriplegi  : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau  dan sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Spesifik Level
a)     C1 – C2       :   Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).
b)    C3 – C4       :   Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang.
c)     C5 – C6       :  Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
d)    C6 – C7       :  Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
e)     C7 – C8       : Quadriplegia, gerak triceps (+),  gerak intrinsic  lengan (-).
f)     Th1 – L1-2   :   Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis  tertentu (-), fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-).
g)    Di bawah L2:  Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder &   bowel (-), fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.
8.   Komplikasi pada Cedera Medulla Spinalis
a.       Ulcer decubitus
Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang.
b.      Osteoporosis dan fraktur
Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal, tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang.
c.       Pnemonia, atelektasis, aspirasi
Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat progresif sesuai keadaan.
d.      Heteritropic ossification (HO)
Merupakan suatu kondisi yang tidak terlalu dimengerti yaitu mekanisme terjadinya dalam fase akut medula spinalis akan terjadi pertumbuhan tulang yang abnormal di luar dari tulang rangka normal. Biasanya pada sendi besar seperi panggul dan lutut. Masalah dari HO adalah kekakuan sendi dan difusi dari sendi.
e.       Autonomic dysreflexia
f.       Deep Vein Trombosis (DVT)
Merupakan komplikasi terberat dalam cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi yang normal daripada pembuluh darah.
g.      Cardiovasculer disease
Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan resiko jangka panjang pada cedera medulla spinalis.
h.      Syringomyelia
Berpengaruh pada spasme, phantom sensation, perubahan refleks dan autonom visceral.
i.        Neuropatic pain
Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis. Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level lesi ke inervasinya.
Komplikasi SCI yang lain
a.       Perubahan Tonus Otot
Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah paralysis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena. Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending, akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks.
 
 
b.      Komplikasi Sistem respirasi
Bila lesi berada di atas level C4 akan menimbulkan paralysis otot inspirasi sehingga biasanya penderita membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret.
c.       Kontrol Bladder dan Bowel
Pusat urinaris pada spinal adalah pada conus medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen secral. Selama fase spinal shock, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas, kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral. Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan adanya lesi pada cauda equina.
d.      Respon Seksual
Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan complete atau incompletenya trauma. Terdapat dua macam respon, reflekogenic atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada penderita dengan lesi UMN, dan pshycogenic, dimana timbul melalui aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN. Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai reflexive erection, tapi bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada cauda equina tidak memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi.
Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan dysrefleksia autonomik.
 
      9.   Tingkatan Cedera Medulla Spinalis
a.       Tingkat Upper Motor Neuron
Akan terjadi kelumpuhan pada sebelah tubuh sehingga disebut hemiparese, hemiplegi, hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan pyramidal sesisi. Tanda-tanda kelumpuhan UMN :
1)      Tonus otot yang meningkat / hipertonus / spastisitas
Terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti intrinsik medulla spinalis.
2)      Hiperefleksia
Gerakan otot skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas suatu perangsangan disebut reflek. Gerak otot reflektorik yang timbul atas jawaban stimulasi terhadap tendon dinamakan tendon.
3)      Klonus
Hiperfleksi seringkali disertai dengan klonus. Tanda ini adalah gerak  reflekstorik yang terjadi secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.
4)      Reflek patologis
Mekanismenya belum jelas misalnya reflek Babinsky
5)      Tidak ada atrofi pada otot yang lumpuh
Dalam hal kerusakan pada serabut-serabut impuls motorik UMN, motor neuron tidak dilibatkan, hanya di bebaskan dari kelolah UMN sehingga otot yang lumpuh tidak mengalami atrofi.
b.      Tingkat lower motor neuron
Lesi LMN yaitu, lesi yang merusak motor neuron, akson, “ motor end plate” atau otot skletal.
Tanda-tanda kelumpuhan LMN :
1.      Seluruh gerakan baik yang volunteer maupun reflekstorik tidak dapat dibangkitkan. Kelumpuhan disertai :
·         Hilangnya reflek tendon, disebut arefleksia.
·         Tidak ada refles patologik
2.      Misalnya :
·         Lesi di cornu anterior : poliomyelitis (merusak motor neuron).
·         Lesi pleksus brachialis.
·         Lesi saraf perifer.
      10. Prognosa Pada Cedera Medulla Spinalis
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosa pada cedera medulla spinalis yaitu :
a.       Derajat kerusakan sensoris dan motorik yang timbul sesuai klasifikasi ASIA
b.      Sosial-ekonomi
c.       Injury Lain
d.      Psikologi Pasien
e.       Obesitas
f.       Usia
g.      Jenis Kelamin

Total Pageviews

Search

Informasi

Jika Anda membutuhkan konsultasi terkait fisioterapi silahkan menghubungi melalui email physio.yuli@gmail.com

Artikel Populer