”Spinal cord injury adalah kerusakan medulla spinalis akibat trauma dan non
trauma yang menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative ( bledder
dan bowel ), dan gangguan fungsi seksual”[1]. Kejadian Spinal cord injury akibat oleh trauma biasanya
lebih sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja yang akan
menyebabkan fraktur pada vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan
pada medulla spinalis. Pada non trauma biasanya disebabkan karena adanya
infeksi yang menyerang pada collumna vertebralis sehingga merusak dapat merusak
bagian dalam dari medulla spinalis.
Adapun peran fisioterapi dalam keadaan tersebut
benar-benar harus intensif agar dapat meminimalkan kecacatan dan mencegah
terjadinya komplikasi. Untuk itu fisioterapi selaku bentuk pelayanan kesehatan
yang ditujukan kepada individu atau masyarakat yang berfungsi dalam hal
memelihara, memulihkan dan mengembalikan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur
kehidupan sangat berperan dalam keadaan tersebut.
Spinal Cord Injury
Spinal Cord Injury adalah
suatu disfungsi dari medula spinalis yang mempengaruhi fungsi sensoris dan
motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada tractus sensori motor dan
percabangan saraf-saraf perifer dari medula spinalis ( Quick Refference to
Physiotherapy 1999 ).
Spinal Cord
Injury adalah kerusakan medula spinalis akibat trauma dan non trauma/infeksi
yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetatif (
bladder dan bowel ), dan gangguan fungsi seksual.
1. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya
lesi pada medula spinalis, terbagi menjadi dua yaitu :
a. Trauma : Kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas,
jatuh, luka tembak, luka tusuk,
kecelakaan olahraga.
Cedera yang terjadi karena
trauma dapat mengenai seluruh anggota tubuh dari kepala hingga kaki dan dapat
mengenai organ dalam tubuh. Salah satu jenis trauma yang dapat terjadi adalah
fraktur. Fraktur yang terjadi dapat mengenai anggota gerak tubuh maupun tulang
belakang sehingga mengenai medula spinalis yang menyebabkan kelumpuhan atau
kelemahan pada anggota gerak bawah.
b. Non trauma disebabkan karena faktor patologi
ataupun kerusakan pada medula spinalis seperti pada kondisi arterial, venous
malfunction, trombosis, emboli, Infeksi, tumor spinal, RA, kelainan bawaan (
Spina Bifida ), multiple sclerosis,
penyakit degeneratif sendi, dll.
2. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya injury,
akan berpengaruh terhadap derajat dan type SCI,
yang terdiri atas :
a. Ruptur Discus Intervertebralis
1) Hiperekstension injury, umumnya terjadi pada
cervical (whiplash injury), karena tertabrak dari belakang.
2) Luka tembak atau luka tusuk yang mengakibatkan
rusaknya medula spinalis dan vascularisasinya.
b. Burst Injury
Corpus remuk dan pecahannya akan menusuk medulla
spinalis.
c. Compression Injury
Trauma vertical yang menyebabkan medula spinalis
terjepit.
d. Flexion Injury
Terjadi hiperfleksi leher, sehingga medula spinalis
menjadi terulur / teregang.
e. Flexion Rotation Cord Injury
Terjadi akibat trauma deformasi, sehingga struktur
penyangga spine tidak mampu
mengakomodasi.
f.
Kerusakan Neural
Trauma pada spinal cord yang menyebabkan kerusakan primer pada saraf,
kerusakan dapat karena adanya contusio, spinal shock dapat berupa hilangnya
sensory, voluntary, motor dan autonom control di bawah level lesi terjadi
setelah trauma. Perubahan substansi pada white matter dimulai dari Wallerian
degeneration dalam kolom posterior ascenden di atas level traktus corticospinal
decenden.
g.
Perubahan aliran darah
§ Adanya patchie kemudian terjadi perdarahan setelah beberapa jam SCI
karena kerusakan endhotelium patologi koagulasi pembuluh darah.
§ Ischemia dan nekrosis pada grey matter.
§ Pembengkakan akson dan peningkatan
permeabilitas pembekuan darah.
§ Perubahan tekanan sistemik berpengaruh
pada perubahan aliran darah spinal yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan saraf.
h.
Disfungsi Sinaptic
SCI menyebabkan ion kalsium menyumbat sel, transport
mitokondria terputus dan mengaktifkan pospolipase, iskemik pada area injury
mungkin akan menyebabkan serotin, prostaglandin yang semuanya dapat menyebabkan
vasokontriksi.
3. Manifestasi Klinis
Apabila
medula spinalis cedera secara complete tiba-tiba, maka 3 fungsi yang terganggu
antara lain : Seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian
tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon,
refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi ini dapat berlangsung dari
beberapa jam, beberapa minggu, beberapa bulan. Fase selanjutnya yang diikuti
spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak
terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan
tidak melalui shock sama sekali.
4. Syndroma SCI
a. Brown Sequard Syndrom
Ciri khas dari syndrom ini
yaitu kerusakan pada satu sisi spinal cord. Terdapat kelemahan pada sisi
ipsilateral. Kerusakan columna lateris menyebabkan adanya refleks yang
abnormal. Seringkali
terjadi spastisitas pada otot sisi ipsilaterl di bawah level lesi. Akibat dari
kerusakan pada columna dorsalis, yaitu hilangnya propriosepsi, kinesthesia, dan
sensasi vibratorik.
b. Anterior Cord Syndrom
Sering terjadi akibat trauma
fleksi dan sebagai akibat dari kekurangan suplai darah dari arteri spinalis
anterior. Kerusakan pada sisi anterior dan anterolateral mengakibatkan gangguan
motor function bilateral, nyeri dan gangguan temperatur, yang berhubungan
dengan adanya hambatan pada traktus spinotalamik anterior dan lateral serta
pada traktus kortikospinal.
c. Central Cord Syndrom
Seringkali disebabkan oleh
trauma hiperekstensi cervical. Cirinya yaitu terdapat gangguan neurologi yang
lebih berat pada upper ekstremitas dari pada lower ekstremitas. Serabut saraf
perifer tidak terkena, sehingga fungsi dari organ yang dipersarafi oleh segmen
thoracal, lumbal dan sacral tetap normal.
d. Posterior Cord Syndrom
Kasus ini jarang terjadi,
gangguannya berupa gangguan motor function, nyeri dan sensasi terhadap sinar.
Hilangnya propriosepsi pada level di bawah lesi menyebabkan pola jalan dengan
base yang lebar.
e. Cauda Equina Syndrom
Cidera pada akar saraf
lumbosacral di dalam saluran saraf, yang mengakibatkan hilangnya reflek BAK,
BAB, dan reflek pada lower ekstrimitas.
5. Stadium SCI
a. Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya :
1) Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah
cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat extremitas yang disebut
tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical akan terjadi
kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.
2) Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu
sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang terganggu berupa sensasi raba,
sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi dalam.
3)
Gangguan fungsi autonom ( bladder, bowel, dan seksual )
Di
sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan,
fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah
lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh
sekali dan baru dapat keluar apabila sudah penuh.
4)
Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )
Dapat
terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu
cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus
respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara
maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.
5) Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di
daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan darah terkumpul di daerah
tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada
saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi
tubuh yang terlalu cepat.
b. Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan), yang
dibagi dalam kriteria:
1) Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang
ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, flacciditas dan
arefleksia.
2) Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang
ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, spastik, dan
hiperrefleksia.
3) Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang
ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
4) Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan
adanya perbaikan fungsi sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia,
dan spastis.
c. Fase kronik (di atas 3 bulan), cirinya apabila setelah fase
recovery kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan timbul gambaran
klinis lain, yaitu :
a) Setelah fase recovery kondisi pasien complete/
incomplete, maka timbul gerakan vital sign menurun.
b) Autonomic dysrefleksia,
yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom. Fenomena
yang tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini
disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa
stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi
kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi
visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level
lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi
lambat.
6. Klasifikasi SCI menurut ASIA
Cedera medula
spinalis dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakannya. Kerusakan
atau injury pada medula spinalis dapat terjadi pada Upper Motor Neuron (UMN)
ataupun Lower Motor Neuron (LMN). Kerusakan pada UMN akan menyebabkan spastik
atau hiper refleksia, sedangkan untuk LMN akan menyebabkan beberapa gangguan
berupa flaksid, di samping masih ada gangguan lain seperti bladder and bowel,
gangguan fungsi pernapasan, gangguan fungsi seksual.
ASIA
mengklasifikasikan menjadi dua berdasarkan dari fungsi yang masih ada, yaitu
SCI lesi complete dan SCI lesi incomplete. Lesi complete adalah hilangnya
fungsi sensorik motorik di bawah level lesi yang bisa disebabkan transeksi,
kompresi ataupun difusi vaskuler. Lesi incomplete adalah hilangnya sebagian
fungsi sensorik motorik di bawah level injury, biasanya disebabkan oleh
kontusio pada fragmen tulang, jaringan lunak atau oedem pada spinal canal.
7. Level SCI
SCI
diberi nama sesuai dengan level kerusakan neurology yang terkena (Ragnarsson,
1993; Farcy dan Rawlins, 1993). Kerusakan pada sistem motorik dan sensorik
digunakan untuk mengidentifikasi level kerusakan. The American Spinal Injury
Association (ASIA) telah membuat suatu standar untuk assessment dan klasifikasi
yang biasa digunakan pada kondisi SCI. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan ini dilakukan
untuk menentukan sensori level. Sensori level adalah batas paling kaudal dari
segment medula spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes ini terdiri
dari 28 tes area dermatom yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul
dan sentuhan sinar, dengan kriteria penilaiannya sebagai berikut :
Nilai 0 : tidak ada dapat merasakan ( absent ).
Nilai 1 :
merasakan sebagian ( impaired ).
Nilai 2 :
dapat merasakan secara normal.
NT ( not testable ) : diberikan
pada pasien yang tidak dapat merasakan
karena tidak sadarkan diri.
b. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan motorik
levelnya. Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis
yang fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan motorik lebih
sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak adanya innervasi,
berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau kelumpuhan. Pemeriksaan
kekuatan otot tersebut bisa menggunakan pemeriksaan dengan Manual Muscle Test
(MMT), dengan skala penilaian sebagai berikut :
Nilai
|
Huruf
|
Skala
|
Definisi
|
0
|
Zero
|
Tidak ditemukan kontraksi
dengan palpasi.
|
|
1
|
(
Tr )
|
Trace
|
Ada kontraksi tetapi tidak
ada gerakan
|
2-
|
(
P-)
|
Poor minus
|
Ada gerakan ½ ROM, tidak
dapat melawan gravitasi
|
2
|
(
P)
|
Poor
|
Gerakan dengan ROM penuh,
tidak dapat melawan gravitasi.
|
2+
|
(P+)
|
Poor plus
|
Gerakan dengan ROM penuh
tanpa melawan gravitasi dan ½ ROM dengan melawan gravitasi.
|
3-
|
(F-)
|
Fair minus
|
Idem
dengan 2+
|
3
|
(F)
|
Fair
|
Gerakan penuh melawan gravitasi
|
3+
|
(F+)
|
Fair plus
|
Gerakan ROM penuh dan dapat
melawan tahanan minimal.
|
4
|
(G)
|
Good
|
Gerakan ROM penuh dan dapat
melawan tahanan.
|
5
|
(N)
|
Gerakan ROM penuh dan dapat
melawan tahanan maksimal.
|
Pada
pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle testing ini biasanya
dilakukan pada daerah myotom, antara lain :
C 5 : Fleksi siku ( m. biceps, m. brachialis )
C 6 : Ekstensi pergelangan tangan ( m. ekstensor
carpi radialis longus dan brevis )
C 7 : Ekstensi siku ( m. triceps )
C 8 : Fleksi digitorum profundus jari tengah (m.
fleksor digitorum profundus)
Th 1 : Abduksi digiti minimi (m. abduktor digiti
minimi )
L 2 : Fleksi hip ( m. iliopsoas )
L 3 : Ekstensi
knee ( m. Quadriceps )
L 4 : Dorso fleksi ankle (m. tibialis anterior )
L 5 : Ekstensi ibu jari kaki (m. ekstensor hallucis longus )
S 1 : Plantar fleksi ankle (m. gastrocnemius, m. soleus )
c. Pemeriksaan neurology level
Pemeriksaan ini dilakukan
unutuk mengetahui batas kaudal dari segment medulla spinalis yang fungsi
sensorik dan motoriknya normal.
Selain berdasarkan
pemeriksaan kerusakan sensorik dan motorik,
ASIA juga membagi SCI berdasarkan
derajat kerusakan yang timbul :
American Spinal Injury Association Impairment Scale (AIS)
|
A : Komplit. Tidak ada respon fungsi sensorik dan motorik
sampai dengan level S4 – 5
B : Inkomplit. Respon sensorik ada, tapi fungsi motorik
tidak ada sampai dengan neurologi.
Fungsi sensorik normal sampai level S4-5.
C : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function ada di
bawah level neurologis, dan lebih dari 50 memiliki nilai MMT kurang
dari 3.
D : Inkomplit. Fungsi sensorik ada, motor function di
bawah level neurologis tidak berubah dan mayoritas key muscle di bawah level
neurologis memiliki nilai MMT lebih atau sama dengan 3.
E :
|
Selain
itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak
lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas,
hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera
mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia,
yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2
sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti
gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi
pernapasan.
Sedangkan lesi pada medula
spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi
atas :
1) Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi
motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
2) Quadriplegi :
Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment
cervikal.
Spesifik Level
a) C1 – C2 : Quadriplegia,
kemampuan bernafas (-).
b) C3 – C4 :
Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-),
kemampuan bernafas hilang.
c) C5 – C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
d) C6 – C7 :
Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
e) C7 – C8 :
Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak
intrinsic lengan (-).
f) Th1 – L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak
intercostalis tertentu (-), fungsi
tungkai (-), fungsi seksual (-).
g) Di bawah L2: Termasuk
LMN, fungsi sensorik (-), bladder &
bowel (-), fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.
8. Komplikasi pada Cedera Medulla Spinalis
a.
Ulcer decubitus
Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla
spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah pinggul
(ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera medulla spinalis
tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja, tapi juga
peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang.
b.
Osteoporosis dan fraktur
Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla spinalis akan
mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal, tulang akan tetap sehat
dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu. Ketika aktifitas otot
berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas menumpu berat
badan, maka mulai terjadi penurunan kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang
berkurang.
c.
Pnemonia, atelektasis, aspirasi
Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah Th4,
akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru. Terjadi pada 10
tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat progresif sesuai keadaan.
d.
Heteritropic ossification (HO)
Merupakan suatu kondisi yang tidak terlalu dimengerti
yaitu mekanisme terjadinya dalam fase akut medula spinalis akan terjadi
pertumbuhan tulang yang abnormal di luar dari tulang rangka normal. Biasanya pada sendi besar seperi panggul
dan lutut. Masalah dari HO adalah kekakuan sendi dan difusi dari sendi.
e.
Autonomic dysreflexia
f.
Deep Vein Trombosis (DVT)
Merupakan komplikasi terberat dalam cedera medula
spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi yang normal daripada
pembuluh darah.
g.
Cardiovasculer disease
Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan resiko
jangka panjang pada cedera medulla spinalis.
h.
Syringomyelia
Berpengaruh
pada spasme, phantom sensation, perubahan refleks dan autonom visceral.
i.
Neuropatic pain
Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla
spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis. Kerusakan
pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya dapat berakibat
rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan merasakan terdapat phantom
limb pain atau nyeri yang menjalar pada level lesi ke inervasinya.
Komplikasi SCI yang lain
a. Perubahan Tonus Otot
Akibat yang paling terlihat
pada SCI adalah paralysis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang
terkena. Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending, akan
terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan diikuti
dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari bladder dan
bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat,
dan timbulnya refleks.
b. Komplikasi Sistem respirasi
Bila lesi berada di atas
level C4 akan menimbulkan paralysis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan pada n.
intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen C5 – Th 12,
timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang mendapat persarafan dari
level tersebut, seperti m. adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m.
obliques eksternalis juga menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan
mengeluarkan sekret.
c. Kontrol Bladder dan Bowel
Pusat urinaris pada spinal
adalah pada conus medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen
secral. Selama fase spinal shock, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus
otot dan refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas, kesulitan
menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral. Lesi pada conus
medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan
menurunnya tonus otot perineal dan sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama
seperti pada bladder ditambah dengan adanya lesi pada cauda equina.
d. Respon Seksual
Respon seksual berhubungan
langsung dengan level dan complete atau incompletenya trauma. Terdapat dua
macam respon, reflekogenic atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat
pada penderita dengan lesi UMN, dan pshycogenic, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN. Pria
dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai reflexive erection, tapi bukan
ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk ejakulasi,
tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada cauda equina tidak memungkinkan
terjadinya ejakulasi ataupun ereksi.
Menstruasi
biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak terhambat, tapi
kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester terakhir. Persalinan
akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari hilangnya sensasi, dan
persalinan diawali dengan dysrefleksia autonomik.
9. Tingkatan
Cedera Medulla Spinalis
a.
Tingkat Upper Motor Neuron
Akan terjadi kelumpuhan pada sebelah tubuh sehingga
disebut hemiparese, hemiplegi, hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan
susunan pyramidal sesisi. Tanda-tanda kelumpuhan UMN :
1) Tonus otot yang meningkat / hipertonus /
spastisitas
Terjadi
karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti
intrinsik medulla spinalis.
2)
Hiperefleksia
Gerakan otot skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas
suatu perangsangan disebut reflek. Gerak otot reflektorik yang timbul atas
jawaban stimulasi terhadap tendon dinamakan tendon.
3)
Klonus
Hiperfleksi seringkali disertai dengan klonus. Tanda
ini adalah gerak reflekstorik yang
terjadi secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung.
4)
Reflek patologis
Mekanismenya belum jelas
misalnya reflek Babinsky
5) Tidak ada atrofi pada otot yang lumpuh
Dalam hal
kerusakan pada serabut-serabut impuls motorik UMN, motor neuron tidak
dilibatkan, hanya di bebaskan dari kelolah UMN sehingga otot yang lumpuh tidak
mengalami atrofi.
b.
Tingkat lower motor neuron
Lesi LMN
yaitu, lesi yang merusak motor neuron, akson, “ motor end plate” atau otot
skletal.
Tanda-tanda kelumpuhan LMN :
1.
Seluruh gerakan baik yang volunteer maupun reflekstorik
tidak dapat dibangkitkan. Kelumpuhan disertai :
·
Hilangnya reflek tendon, disebut arefleksia.
·
Tidak ada refles patologik
2.
Misalnya :
·
Lesi di cornu anterior : poliomyelitis (merusak
motor neuron).
·
Lesi pleksus brachialis.
·
Lesi saraf perifer.
10. Prognosa Pada Cedera Medulla Spinalis
Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi prognosa pada cedera medulla spinalis yaitu :
a.
Derajat kerusakan sensoris dan motorik yang timbul
sesuai klasifikasi ASIA
b.
Sosial-ekonomi
c.
Injury Lain
d.
Psikologi Pasien
e.
Obesitas
f.
Usia
g.
Jenis Kelamin