Thursday 21 February 2013



Sindroma Terowongan Karpal (CTS) merupakan suatu entrapment neuropathy yang paling sering terjadi, biasanya unilateral pada tahap awal dan dapat menjadi bilateral. Entrapment neuropathy adalah trauma saraf perifer terisolasi yang terjadi pada lokasi tertentu dimana secara mekanis mengalami tekanan oleh terowongan jaringan ikat atau tulang rawan atau adanya deformitas oleh suatu jaringan. Pada CTS ini terjadi entrapment neuropathy yang bersifat kronik pada n medianus yang menginervasi kulit telapak tangan, punggung tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan setengah sisi radial jari manis pada saat melalui Terowongan karpal.
CTS merupakan patologi yang paling umum terjadi hal ini dibuktikan dengan angka kejadianya yaitu 1- 3 kasus per seribu orang pertahunya dengan prevalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 sampel pada populasi umum pertahunnya. Angka Kejadian dapat meningkat menjadi 150 kasus dari seribu sample pertahunnya,

dengan prevalensi lebih besar yaitu meningkat menjadi 500 kasus dari 1.000 sampel pada kelompok yang memiliki resiko tinggi terkena CTS. Sebuah studi juga mengatakan bahwa 3 dari 10000 pekerja kehilangan waktu kerja karena menderita CTS (Asworth, 2011)
Terowongan karpal itu sendiri adalah suatu terowongan kecil yang terdapat dibagian sentral pergelangan tangan dimana di bentuk oleh, tulang carpalia sebagai dasar dan sisi terowongan yang keras dan kaku serta atapnya di bentuk oleh flexor retinaculum (ligamentum carpi transversum dan ligamentum carpi palmare), selain n. medianus yang berasal dari segmen, Terowongan karpal juga di lewati sembilan tendon fleksor jari - jari. Ada beberapa faktor resiko dari CTS yaitu dari aktifitas sehari-hari contohnya mengetik komputer, memeras baju, mengendarai motor, melukis, menulis dan menjahit dengan tangan tentunya aktifitas tersebut banyak melibatkan gerak fleksi wrist yang terus menerus.
Degenerasi juga dapat menjadi faktor resiko dari CTS, hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukanya “kasus CTS pada populasi manusia antara usia 45-64 tahun dan hanya 10% dari penderita CTS yang berusia di bawah 31 tahun. Beberapa patologi pun dapat menjadi faktor resiko dari CTS diantaranya tumor dan rheumatoid athriritis. (Werner, 2009)
Penekanan nervus yang berulang-ulang dapat mengakibatkan venousstasis yang menyebabkan darah didalam saraf,
yang mengandung sisa metabolisme sulit untuk keluar hal ini juga menyebabkan darah dari luar saraf yang mengandung oksigen tidak dapat masuk kedalam saraf akibatnya pasokan darah menurun sehingga serabut saraf akan mengalami hipoksia.
Pada Serabut saraf yang mengalami hipoksia akan terjadi peningkatan permeabilitas membran sel neural sehingga sangat mudah dilalui oleh impuls saraf dan pada akhirnya, berakibat timbulnya paraesthesia. Selain paraesthesia, hipoksia dalam serabut saraf juga dapat mengakibatkan kerusakan lapisan sel endothelial dan terjadi inflamasi yang dapat memicu pelepasan zat-zat iritan (algogen) yaitu histamin, bradikinin, prostagalandin dan lain-lain yang dapat meningkatkan stimulus serabut saraf polimodal akibatnya thresshold menurun dan mengakibatkan sensitisasi saraf yang di tandai hiperalgesia yang lama kelamaan menjadi allodynia sehingga terjadi neurophatik pain.
Inflamasi juga di tandai dengan timbulnya oedeme karena kebocoran protein, oedeme tersebut mengakibatkan tekanan intrafasikular meningkat sehingga dapat menyebabkan bertambahnya gangguan mikrosirkulasi dalam saraf dan terjadi penurunan axoplasmic flow karena axoplasmic flow membutuhkan pasokan darah sebagai energi untuk mengalirkan intraselular material tanpa pasokan darah, maka axoplasmic flow akan melambat,
karena sirkulasi yang kurang baik maka proses inflamasi dan penyembuhan jaringan akan berlangsung lama sehingga menjadi inflamasi kronik dan oedeme epineural pada saraf pun akan berlangsung lama dan terus menerus.
Hal tersebut memicu aktifnya proses proliferasi fibroblastik yaitu proses pembentukan jaringan fibrosis intraneural pada jaringan epineural dan intrafasikular kemudian fibrosis dapat kembali menyebabkan peningkatan tekanan intraneural kembali, proses ini disebut siklus iritasi, bila proses ini terjadi dalam waktu lama maka akan memicu pembentukan scar tissue.
Scar tissue tersebut dapat mengakibatkan penurunan elastisitas serabut saraf. Scar tissue juga dapat mengaktifkan ectopic discharge yang memicu aksi potensial yang akan diterima oleh serabut saraf nociceptif nervi nervorum yang kemudian akan dihantarkan ke dorsal horn sehingga akan timbul nyeri yang bersifat kronik.
Apabila saraf itu diregang maka akan timbul nerve tension pain. Selain itu scar tissue atau dikenal dengan neurofibrosis juga dapat menimbulkan paraesthesia menetap. Terjadinya penekanan n. medianus pada CTS melibatkan beberapa struktur jaringan spesifik yaitu yang terjadi secara primer karena penebalan dari ligamen carpi transversum akibat degenerasi sehingga kadar air dalam matriks menurun akibatnya kelenturan jaringan menurun dan terjadi kontraktur yang akan menekan n.medianus dalam Terowongan karpal.
Selain melibatkan tendon fleksor yang mengalami proses immuno reaction dari inflamasi yang kemudian terjadi adhesi dan penebalan yang dapat dapat menimbulkan penekanan pada n. medianus hal ini biasa diakibatkan overuse atau rhemathoid arthritis selain itu subluksasi os.lunatum pun dapat terlibat dalam penyempitan Terowongan karpal.
Gangguan gerak dan fungsi yang terjadi pada CTS adalah nyeri dan paraesthesia yang menyebar ke kulit telapak tangan, punggung tangan didaerah ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan setengah sisi radial jari manis terutama saat posisi wrist palmar fleksi, nyeri akan terasa lebih berat pada malam hari kemudian berkurang setelah tangan digoyang-goyangkan atau diletakan di atas bahu.
Untuk mengatasi hal-hal diatas maka beberapa tenaga medis ikut terlibat dalam penangananya terutama fisioterapi yang lebih memfokuskan terhadap pemulihan gerak dan fungsi sesuai dengan yang tercantum dalam General Meeting of Physical Therapist ( WPCT, 2011) dikemukakan bahwa:
“Physical therapy provides services to individuals and population to develop, maintain and restore maximum movement and functional ability throughout the lifespan. This includes providing services in circumstances where movement and function are threatened by ageing, injury, diseases, disorders, conditions or enviromental factors. Functional movement is central to what it means to be healthy”.

Oleh sebab itu sesuai dengan hal diatas maka fisioterapi sebagi tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi empat hal yaitu promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif dan bertujuan untuk memulihkan dan mengembalikan gerak dan fungsi seseorang sehingga keadaan sehat dapat tercapai serta aktifitas kerja menjadi tidak terhambat.
Fisioterapi memiliki banyak cara dalam penanganan masalah-masalah yang di timbulkan oleh CTS diantaranya dengan mengaplikasikan beberapa modalitas elektroterapi yaitu MWD, US, TENS, dan IFC selain itu juga dapat diaplikasikan metode-metode manual terapi yang tepat diantaranya adalah massage, stretching ligament carpi transversum, stretching tendon fleksor jari-jari tangan, neural mobilization dan dengan metode latihan nerve gliding exercise. Tetapi pada penelitian ini penulis mencoba memadukan metode-metode intervensi dengan elektroterapi dan manual terapi.
Pemberian modalitas elektroterapinya yaitu dengan Microwave Diathermy (MWD) merupakan tindakan efektif terhadap nyeri akibat trauma ataupun degeneratif. Efek teraupetik dengan pemasan lokal akan menimbulkan peningkatan proses metabolisme lokal, penyerapan zat-zat iritan dan parasthesia hasil inflamasi kronik, sensasi hangat menimbulkan efek sedative sehingga nyeri dan parasthesia berkurang.
Ultrasound yang merupakan alat yang menghasilkan arus bolak-balik berfrekuensi tinggi yang dirubah menjadi gelombang suara oleh piezoelektrik,
pada CTS alat ini bertujuan untuk melepaskan perlengketan jaringan yang terjadi pada n.medianus,
ligamen carpi transversum dan tendon fleksor dengan micromassage yang ditimbulkan oleh efek mekanik, dan micromassage juga dapat menimbulkan efek termal pada jaringan yang akan mengakibatkan efek vasodilatasi pada pembuluh darah saraf tepi sehingga sirkulasi darah meningkat dan dapat mempercepat proses penyembuhan inflamasi kronik yang terjadi pada n. medianus.
Salah satu exercise yang untuk mengurangi nyeri dan kemampuan fungsional pergelangan tangan pada CTS adalah nerve gliding exercise yang bertujuan untuk melepas penekanan dan mengembalikan mobilitas n.medianus.
Berdasarkan berbagai uraian yang telah dikemukakan diatas maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan meniliti lebih dalam melalui penelitian yang akan dipaparkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “ Efek Penambahan Nerve Gliding Exercise Pada Intervensi MWD dan US  Terhadap Penurunan Nyeri Pada Kasus CTS.




Postur tubuh membungkuk saat beraktivitas, bekerja, dan berolahraga dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan. Aktivitas sehari-hari pada saat duduk, berdiri, berjalan, dan tidur sangat mempengaruhi postur tubuh terutama pada kifosis. Posisi tubuh membungkuk lama dan statis akan mempengaruhi fungsi dan struktur trunk yaitu adanya ketegangan otot, ligament, dan sendi serta tekanan pada diskus yang menyebabkan terbentuknya adaptasi postur yaitu kifosis.
Individu duduk membungkuk dikarenakan oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut yaitu desain kursi, kebiasaan membungkuk, kurangnya motivasi untuk mengikuti prinsip-prinsip duduk yang baik di kantor, dan kenyamanan yang dirasakan. Postur duduk membungkuk yang dianggap nyaman dalam jangka pendek akan merusak kesehatan tulang punggung dalam jangka panjang. Prinsip-prinsip sehat terutama desain kursi duduk dan meja kerja yang ergonomis untuk mereka yang bekerja dalam posisi duduk lama di kantor sangat penting (Beldon and Epsom, 2007).
Duduk dengan posisi membungkuk dapat meningkatkan tekanan pada diskus yang disebabkan oleh perubahan pusat gravitasi tubuh, pembagian beban dan ketegangan ligament. Ketika pinggang bawah datar pada posisi duduk membungkuk, mengakibatkan peningkatan pembebanan pada bagian depan diskus oleh berat badan yang membungkuk ke depan menyebabkan diskus berubah bentuk dimana bagian belakang diskus teregang, meningkatkan tegangan gaya dan tingginya stress pada bagian diskus yang menyempit. Hasil peningkatan ketegangan yang disebabkan oleh duduk dan membungkuk ke depan secara dramatis meningkatkan tegangan ligamentum dan menjadi sumber yang potensial bagi kerusakan ligament dan diskus (O’Sullivan et al, 2002).
Selain itu duduk membungkuk dapat menimbulkan ketidakseimbangan otot, nyeri yang disebabkan oleh ketegangan sendi, otot, dan ligament, nyeri akibat spasme otot karena kontraksi otot yang terus-menerus menahan posisi tubuh, tekanan pada rongga dada menyebabkan berkurangnya ekspansi torak, tekanan pada organ internal tubuh/abdominal, dan kelelahan otot.
Otot memerlukan energi untuk mempertahankan tubuh untuk tetap tegak yang dihasilkan oleh perubahan kimiawi gula darah dan menyuplai kerja otot melalui pembuluh darah. Salah satu produk yang dihasilkan melalui proses kimiawi ini menghasilkan asam laktat yang normalnya dirubah menjadi karbon dioksida dan air. Karbon dioksida ditransportasikan oleh darah ke paru-paru untuk dibuang saat ekspirasi. Ketika berjalan, gerakan yang kita lakukan meningkatkan aliran darah, dan memerlukan energy untuk kontraksi otot dalam membuang asam laktat. Ketika duduk, otot juga bekerja, rendahnya aktivitas saat duduk menyebabkan aliran darah berada pada level yang rendah. Tanpa aliran darah yang adekuat ke otot, asam laktak meningkat, menyebabkan nyeri dan spasme otot. Proses ini merupakan pembebanan statik menimbulkan kelelahan otot (Hendri, 2009).
.
Posisi berdiri dan berjalan membungkuk selain menimbulkan masalah pada otot, ligament, dan sendi juga akan mempengaruhi kosmetik seseorang. Individu cenderung berdiri dan berjalan dengan posisi membungkuk karena posisi tersebut nyaman baginya dan kebiasaan membungkuk membuat posisi berdiri tegak justru akan membuatnya merasakan kelelahan pada otot-otot punggungnya (O’Sullivan et al, 2002).
Posisi tidur sangat mempengaruhi postur tubuh dan kesehatan. Individu kifosis postural cenderung tidur dalam posisi meringkuk. Posisi tidur meringkuk sangat berbahaya karena akan mempengaruhi kualitas tidur. Kurva tulang belakang yang melengkung pada posisi tidur meringkuk dengan forward head position yang menyebabkan penyempitan saluran pernapasan, posisi hip dan knee fleksi akan menyebabkan tekanan dan penyempitan pada abdominal dan rongga dada sehingga jumlah oksigen yang masuk saat tidur menurun dan mudah terjadi gagal napas pada saat tidur (Park, 2008).
Patologi fungsional pada postur kifosis terangkum dalam komponen Internatioan Classification of Functioning, Disability, and Health (ICF) oleh WHO (2001) yaitu sebagai berikut:
a.       Impairment Body Function and Body Structure
1)                  Nyeri yang berasal dari struktur anatomi kifosis torakal
a)      Nyeri yang disebabkan oleh over kontraksi otot akibat sikap tubuh membungkuk, menyebabkan tightness yang ditandai dengan spasme dan jika berlangsung lama akan menimbulkan trigger point dalam serabut otot yang menimbulkan sindroma miofascial (dengan kode (b28013): “nyeri pada punggung” (ICF, 2001)).
b)      Nyeri yang disebabkan oleh penurunan daya tahan otot dalam menahan sikap tubuh yang membungkuk mengakibatkan kelelahan otot punggung dan terjadi mekanikal stress pada jaringan (dengan kode (b28013): “nyeri pada  punggung” (ICF, 2001)).
c)      Nyeri yang disebabkan oleh peregangan ligament, kapsul sendi, dan kompresi pembuluh darah menyebabkan distensi atau kompresi saraf sehingga menimbulkan inflammasi (dengan kode (b28013): “nyeri pada punggung” (ICF, 2001)).
d)     Nyeri yang disebabkan oleh penguncian sendi torakal karena pemendekan ligament-ligament vertebralis dalam waktu lama (dengan kode (b28016): “nyeri pada sendi” (ICF, 2001)).
2)         Penurunan fungsi otot akibat penyimpangan postur pada struktur anatomi kifosis torakal:
a)      Penurunan fungsi otot yang timbul akibat panjang dan kekuatan otot antara otot agonist dan antagonist tidak seimbang karena adaptasi atau disfungsi dari postur yang salah sehingga menimbulkan tightness dan weakness otot (dengan kode (b7355): “tonus pada otot punggung” (ICF, 2001)).
b)      Penurunan fungsi otot yang timbul akibat penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas otot  menyebabkan penurunan daya tahan otot (dengan kode (b7401): “daya tahan kelompok otot” (ICF, 2001)).
c)      Penurunan fungsi otot yang timbul akibat penurunan power otot karena adanya penurunan daya tahan dan kekuatan otot (dengan kode (b7305): “power pada otot punggung” (ICF, 2001)).
3)         Keterbatasan ROM akibat hipomobiliti pada struktur anatomi kifosis torakal yang menyertai :
a)      Keterbatasan ekstensi torakal disebabkan oleh pemendekan ligament-ligament vertebralis dalam jangka waktu lama yang akan terjadi kontraktur pola non capsular pattern (dengan kode (b7108): “mobilitas sendi torakal” (ICF, 2001)).
b)      Keterbatasan mobilitas sangkar torak disebabkan oleh hipomobiliti sendi intervertebral berdampak pada berkurangnya gerak costovertebral dan costotransversal joint (dengan kode (b7108): “mobilitas sendi torakal” (ICF, 2001)) .
4)         Keterbatasan ekspansi torak akibat tidak sempurnanya ekstensi torakal yang mengakibatkan penekanan pada otot diafragma dan abdominal yang menyebabkan kelemahan otot dan ketidakseimbangan otot pernapasan  (dengan kode (b4408): “fungsi ekspansi torak” (ICF, 2001)).
b.      Keterbatasan Aktivitas Fungsional
1)      Keterbatasan aktivitas pada saat duduk lama di kursi atau lantai saat mengetik, belajar dan  mengerjakan tugas yang disebabkan oleh otot punggung yang bekerja terus-menerus menahan posisi duduk membungkuk mengakibatkan kelelahan otot dan adanya mekanikal stress pada tulang belakang (dengan kode (d4153): “mempertahankan posisi duduk” (ICF, 2001)).
2)      Keterbatasan aktivitas pada saat berdiri lama saat mengantri, berdiri dalam bus, dan sebagainya yang disebabkan oleh kelelahan otot punggung dan mekanikal stress pada tulang belakang (dengan kode (d4154): “mempertahankan posisi berdiri” (ICF, 2001)).
3)      Keterbatasan aktivitas pada saat tidur yang disebabkan oleh posisi tidur meringkuk yang mengakibatkan penekanan pada rongga pernapasan (dengan kode (d4150): “mempertahankan posisi tidur” (ICF, 2001)).
c.       Keterbatasan Partisipasi
1)      Keterbatasan partisipasi dalam bekerja yang diakibatkan oleh ketidakmampuan duduk lama pada saat bekerja di depan komputer seperti sekretaris dan programmer, dan supir yang mengharuskan duduk lama untuk mengerjakan pekerjaannya di kantor, perusahaan, da sebagainya (dengan kode (d8502): “pekerjaan full time” (ICF, 2001)).
2)      Keterbatasan partisipasi dalam bekerja yang diakibatkan oleh ketidakmampuan berdiri lama pada saat bekerja seperti satpam, kasir, dan sebagainya dalam mengerjakan pekerjaannya di kantor, bank, dan perusahaan (dengan kode (d8502): “pekerjaan full time” (ICF, 2001)).
3)      Keterbatasan partisipasi dalam berolahraga yang diakibatkan postur kifosis postural yang menyebabkan penurunan performa otot dan kualitas bermain seperti keikutsertaan dalam permainan basket, voli, badminton, lempar cakram, dan sebagainya (dengan kode (d9201): “olahraga” (ICF, 2001)).

Kifosis dapat dialami oleh usia anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut baik pada pria maupun wanita. Postur kifosis ini dapat disebabkan oleh bawaan lahir, kesalahan tubuh dalam bersikap pada saat bekerja, beraktivitas, dan dapat juga disebabkan oleh posisi sikap pada saat berolahraga dengan posisi membungkuk lama dan menetap (Briggs et al, 2007). Pada posisi duduk  membungkuk, posisi pelvik tilting ke posterior yang menyebabkan berkurangnya kurva lordosis lumbal dan kurva kifosis torakal meningkat disertai forward head position dan shoulder protraksi dan internal rotasi (Janda, 2010).  
Kifosis yang ditandai dengan peningkatan kurva kifosis torakal, protraksi shoulder dan internal rotasi shoulder, dan disertai forward head position, menyebabkan ketidakseimbangan otot yaitu upper crossed syndrome. Upper crossed syndrome yaitu dimana terjadinya tightness pada upper trapezius dan levator skapula pada dorsal bersilangan dengan tightness pada pectoralis mayor dan minor. Kelemahan pada deep servikal flexor pada ventral bersilangan dengan kelemahan pada middle dan lower trapezius. Pola imbalance ini menyebabkan joint dysfunction, terutama pada atlanto-occipital joint, segment C4-C5, cervicothoracic joint, glenohumeral joint, dan segment T4-T5. Perubahan postur yang terlihat pada upper crossed syndrome yaitu forward head position, peningkatan kurva lordosis servikal dan kifosis torakal, elevasi dan protraksi shoulder dan rotasi atau abduksi dan wing skapula (Janda. 2010). 
Ketidakseimbangan otot pada postur akibat kifosis terjadi karena panjang dan kekuatan otot antara otot agonist dan antagonist tidak seimbang sebagai akibat dari adaptasi atau disfungsi dari sikap postur yang salah. Seperti ketidakseimbangan otot secara fungsional atau patologikal. Ketidakseimbangan fungsional otot terjadi sebagai respon adaptasi dari pola gerak yang kompleks meliputi ketidakseimbangan pada kekuatan atau fleksibilitas grup otot antagonist pada sikap postur yang salah karena aktivitas atau olahraga yang tidak menimbulkan nyeri. sedangkan Ketidakseimbangan patologikal otot berkaitan dengan disfungsi dan nyeri atau tidak nyeri, biasanya diakibatkan oleh traumatik atau injury akibat aktivitas atau olahraga. Pada postur kifosis termasuk dalam ketidakseimbangan fungsional otot, yang terjadi karena proses adaptasi sikap postur salah yang menimbulkan stabilitas antara otot paraspinal dan otot dada serta otot abdominal tidak seimbang (Janda, 2010). Secara spesifik ketidakseimbangan antara fleksibilitas dan ekstensibilitas otot pada otot anterior dan posterior tubuh akibat kifosis yaitu pada otot posterior tubuh yaitu m.upper trapezius menjadi tightness dan memendek, m. lower trapezius, m. serratus anterior, m. latissimus dorsi, m. teres major, dan m. rhomboid memanjang dan lemah, otot extensor torakal spine memanjang dan lemah, erector spine melemah dan tightness, serabut atas m. gluteus maximus mengalami tightness tetapi tidak cukup kuat, serabut bawah m. gluteus maximus memanjang dan lemah, serta m. hamstring memendek. Pada otot anterior tubuh seperti flexor servikal memanjang dan lemah, m. pectoralis mayor dan m. pectoralis minor memendek dan tightness, m. rectus abdominis dan m. obliques abdominis memendek, m. psoas mayor memanjang dan melemah, bagian bawah otot dinding anterior abdomen mengalami kelemahan (Paterson, 2008). 
Tightness dan weakness otot terjadi karena pengaruh dari komponen viscoelastic dan contractile otot. Komponen viscoelastic berhubungan dengan struktur extensibilitas otot, sedangkan komponen kontraktil berhubungan dengan input neurological.  Tightness otot secara otomatis menghambat otot antagonist menyebabkan ketidakseimbangan otot. Ketidakseimbangan otot ini menyebabkan disfungsi sendi yang menyebabkan ketidakseimbangan gaya. Disfungsi sendi menyebabkan buruknya pola gerak dan mengakibatkan kompensasi yaitu kelelahan awal yang menimbulkan overstress otot dan lemahnya stabilisasi yang memudahkan terjadinya injury. Tightness otot dipengaruhi oleh faktor panjang otot, irritability threshold, dan recruitment. Otot yang tightness biasanya lebih pendek dari normal, lebih rendahnya aktivasi threshold atau lebih rendahnya irritability threshold. Sedangkan weakness otot digambarkan sebagai hipotonus atau inhibisi. Secara fungsional, weakness otot dapat dihasilkan dari neuroflexixe atau perubahan adaptasi dan menghambat aktivasi pada pola gerak (Janda,2010).
 Kontraksi otot yang terus-menerus yang salah satunya disebabkan oleh postur kerja yang salah terutama yang terjadi pada kifosis akan menyebabkan otot mengalami ketegangan atau pemendekan. Ketegangan otot biasanya ditandai dengan adanya spasme otot dan rasa nyeri pada saat otot dipalpasi. Kondisi ini jika berlangsung lama akan dapat menimbulkan trigger point dalam serabut otot yang akan menimbulkan sindroma miofascial yang membuat otot mengalami penurunan performa akibat daya tahan dan kekuatan otot yang menurun (Lestari, 2010). 
Penurunan daya tahan dan kekuatan otot menurun diakibatkan karena adanya penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas otot akibat perlengketan fascia dan myofilamen dalam sarcomer taut band otot, dan peningkatan konsentrasi secara abnormal up level dari Ach akan menyebabkan kenaikan frekuensi miniature end plate potential (MEPP) taut band. Sehingga terjadi abnormal hiperkontraksi sel otot yang meningkatkan metabolisme lokal dan vasokontriksi kapiler karena aktivitas simpatik. Ketika ada aktivitas pekerjaan maka kedua faktor diatas akan menimbulkan hipoksia dan ischemic dalam sel otot yang akhirnya mengakibatkan penurunan pH lokal dan keluarnya substansi-substansi yang dapat menstimulasi aktivitas nociceptor otot dan dorsal horn medulla spinalis. Aktivitas nociceptor ini akan menimbulkan spasme, allodynia, hiperasthesia, dan mekanik hiperalghesia baik lokal maupun rujukan yang merupakan tanda khas sindroma miofascial. Tanda khas sindroma miofascial yang lain adalah penurunan kekuatan otot yang berlangsung secara tiba-tiba. Penurunan ini secara klinis sangat berkaitan dengan trigger point dalam otot tersebut. Ketika trigger point berhasil dinonaktifkan maka kekuatan otot secara instan akan kembali pulih. Penurunan kekuatan yang khas ini diduga akibat inhibisi komponen motorik yang reversible dan berasal dari level medulla spinalis (Lestari, 2010).
Kurva kifosis torakal yang berlebihan akan merubah keseimbangan seluruh tubuh pada kedua tungkai bawah dan kaki dan mempengaruhi mobilitas tulang belakang yang menghambat masing-masing sendi vertebrae untuk bergerak pada ROM maksimal (Briggs et al, 2007).
Kelemahan alignment skapula juga merupakan hubungan yang umum terjadi pada kifosis, kurva yang berlebihan menyebabkan tulang iga melebar dan berotasi ke atas sehingga skapula miring dan terlihat wing.
Wing skapula disebabkan oleh kelemahan otot serratus anterior dan lower trapezius yang menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan kelemahan stabilisator dinamik skapula yaitu pada otot rhomboid dan middle trapezius dan overaktif otot pectoralis mayor atau minor atau upper trapezius. Selain itu, overaktif atau dominannya kerja levator skapula atau rhomboid menyebabkan skapula berotasi ke bawah. Kesalahan alignment pada skapula ini dapat membahayakan fungsi shoulder joint sebagai akibat kedua skapula berotasi ke atas dan depresi skapula terhadap pengaruh fleksi shoulder. Kelemahan stabilitas skapula akan menyebabkan munculnya hump yaitu otot, kulit, dan lemak pada upper middle back terdorong keluar (Janda, 2010).
Selain itu terdapat beberapa potensi yang menyebabkan nyeri pada kifosis yaitu stress pada posterior longitudinal ligament, kelelahan otot erector spine torakal dan otot retractor skapular, thoracic outlet syndrome, dan upper crossed syndrome. Upper crossed syndrome  menimbulkan ketidakseimbangan pada panjang dan kekuatan otot skapular dan glenohumeral dan berkurangnya efektivitas stabilisasi dinamis dan pasif struktur glenohumeral (GH) joint pada fosa glenoidale menjadi lebih vertikal mengakibatkan kelemahan serratus anterior menyebabkan abduksi, rotasi dan wing skapula. Hal ini menyebabkan berkurangnya stabilitas levator skapula dan upper trapezius untuk meningkatkan aktivasi dalam mempertahankan glenohumeral (Janda, 2010).
Secara khas pada peningkatan kifosis torakal, protraksi skapula dan naik ke depan, dan glenohumeral joint internal rotasi. Dengan postur ini, otot pectoralis minor, levator skapula, dan shoulder internal rotator tegang, dan lateral rotator shoulder dan upward rotator skapula lemah dan memiliki daya tahan otot yang rendah. Disini tidak ada lebih panjangnya tegangan stabilisasi pada kapsul sendi superior dan coracohumeral ligament atau tekanan kompresi dari otot rotator cuff. Oleh karena itu, efek gravitasi cenderung menyebabkan tekanan inferior pada humerus. Selain itu peningkatan kurva kifosis torakal dapat mengakibatkan sindroma postural yaitu timbulnya nyeri yang disebabkan oleh deformitas secara mekanika atau penjepitan vaskular pada jaringan lunak normal yang ditimbulkan dari posisi lama dan menetap pada sikap tubuh yang salah. Sindroma ini dikarakteristikan dengan nyeri yang hilang timbul akibat provokasi beban statik pada jaringan normal. Pasien mengeluhkan nyeri yang berasal dari penekanan pada jaringan normal akibat deformitas postur (Dutton, 2002).
Problema nyeri yang timbul akibat kesalahan postur kifosis dapat diakibatkan adanya (Kisner and colby, 2007) :
a.       Ligament, kapsul facet, periosteum vertebra, otot, anterior duramater, dural sleeves, epidural areolar, adipose tissue, dan dinding pembuluh darah yang menginervasi dan merespon stimulus nociceptif terhadap rangsang nyeri.
b.      Endurance pada otot penting untuk mempertahankan postural kontrol yang menyangga postur untuk terus-menerus beradaptasi melawan tekanan fluktuatif. Gerakan berulang juga memerlukan respon otot untuk mengontrol aktivitas mengakibatkan otot mudah lelah dan terjadi mekanikal stress pada jaringan yang menimbulkan nyeri.
c.       Mekanikal stress menyebabkan nyeri pada jaringan yang sensitif seperti peregangan ligament atau kapsul sendi atau kompresi pembuluh darah menyebabkan distensi atau kompresi saraf yang mudah menimbulkan nyeri. Jika mekanikal stress melampaui kemampuan penyangga jaringan maka akan terjadi kerusakan pada jaringan yang menimbulkan inflamasi.
Sedangkan pada kurva kifosis torakal yang berlebihan akan menyebabkan diskus mengalami pemipihan pada bagian ventral dan pelebaran pada bagian dorsal, akibatnya nucleus terdorong dan terjebak pada bagian dorsal, serta membuat iritasi pada ligament longitudinal posterior dan radix. Hal ini akan menimbulkan keterbatasan gerak ektensi torakal karena adanya pemendekan ligament-ligament vertebralis dalam jangka waktu lama yang akan terjadi kontraktur pola non capsular pattern. Selain itu pada kapsul ligament terjadi pemanjangan pada satu sisi dan pada sisi lain kapsul ligament akan mengalami pemendekan sehingga memungkinkan tightness pada kapsul ligament tersebut dengan firm end feel. Kemudian akan diikuti gangguan mikrosirkulasi, dimana pada posisi statis, posisi yang menetap, akan menyebabkan spasme lokal pada ekstrafusal otot yang kemudian akan menyebabkan penjepitan mikrosirkulasi dan terjadi sirkulasi statis. Kurangnya suplai nutrisi pada jaringan otot menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik yang kemudian menyebabkan nyeri yang berlanjut menjadi spasme, spasme yang timbul akan menyebabkan inflamasi berulang pada jaringan otot, hal ini akan berlangsung menjadi suatu siklus (Viscous cyrcle). Spasme yang muncul sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap kemungkinan kerusakan jaringan/ cidera ulang, hal ini akan menimbulkan reaksi saraf nocisensorik berupa rendahnya ambang rangsang (tresshold) atau bahkan mencapai 0 sehingga terjadi hiperalgesia hingga allodynia (Pratiwi, 2009).
Selain itu pada kifosis akan terjadi hipomobiliti pada sendi intervertebral berdampak berkurangnya gerak costovertebral dan costotransversal joint sehingga timbul kontraktur pada costovertebral dan costotransversal joint, akibatnya mobilitas sangkar thorax juga akan berkurang. Sehingga terjadi keterbatasan gerak ekstensi, nyeri, spasme otot-otot ekstensor torakalis dan berkurangnya mobilitas sangkar thorax (Pratiwi, 2009).
Sangkar thorax mengembang ketika dada terangkat ke atas dan ke depan dengan posisi punggung tegak. Postur tubuh saat duduk atau berdiri dengan posisi membungkuk mengakibatkan rongga dada tertekan sehingga menekan otot diafragma dan abdominal yang menyebabkan kelemahan otot.
Ketidakseimbangan otot yang terjadi akibat tightness otot intercostalis dan weakness otot diafragma dan abdominal dapat mempengaruhi volume dan tekanan rongga torak. Kelemahan otot abdominal tidak dapat meningkatkan volume ekspirasi. Kelemahan upper back erector spine dan middle dan lower trapezius membatasi kemampuan ekspansi thorax dan volume kapasitas maksimal paru sehingga jumlah oksigen yang masuk tidak maksimal (Kendal et al, 2005).

 Postur kifosis dapat mengganggu seluruh sistem tubuh yaitu otot, sendi, ligament, kapsul sendi, sirkulasi darah, dan pernapasan. Hal utama yang menjadi titik permasalahan yaitu derajat kurva torakal yang berlebihan dan mengganggu keseimbangan otot postural, penurunan endurance, flexibilitas otot, penurunan mobilitas sendi, dan gangguan ekspansi thorax yang disebabkan oleh sikap tubuh yang tidak benar saat berdiri, berjalan, duduk, dan tidur.
 


Total Pageviews

Search

Informasi

Jika Anda membutuhkan konsultasi terkait fisioterapi silahkan menghubungi melalui email physio.yuli@gmail.com

Artikel Populer