Thursday 21 February 2013

Kifosis dapat dialami oleh usia anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut baik pada pria maupun wanita. Postur kifosis ini dapat disebabkan oleh bawaan lahir, kesalahan tubuh dalam bersikap pada saat bekerja, beraktivitas, dan dapat juga disebabkan oleh posisi sikap pada saat berolahraga dengan posisi membungkuk lama dan menetap (Briggs et al, 2007). Pada posisi duduk  membungkuk, posisi pelvik tilting ke posterior yang menyebabkan berkurangnya kurva lordosis lumbal dan kurva kifosis torakal meningkat disertai forward head position dan shoulder protraksi dan internal rotasi (Janda, 2010).  
Kifosis yang ditandai dengan peningkatan kurva kifosis torakal, protraksi shoulder dan internal rotasi shoulder, dan disertai forward head position, menyebabkan ketidakseimbangan otot yaitu upper crossed syndrome. Upper crossed syndrome yaitu dimana terjadinya tightness pada upper trapezius dan levator skapula pada dorsal bersilangan dengan tightness pada pectoralis mayor dan minor. Kelemahan pada deep servikal flexor pada ventral bersilangan dengan kelemahan pada middle dan lower trapezius. Pola imbalance ini menyebabkan joint dysfunction, terutama pada atlanto-occipital joint, segment C4-C5, cervicothoracic joint, glenohumeral joint, dan segment T4-T5. Perubahan postur yang terlihat pada upper crossed syndrome yaitu forward head position, peningkatan kurva lordosis servikal dan kifosis torakal, elevasi dan protraksi shoulder dan rotasi atau abduksi dan wing skapula (Janda. 2010). 
Ketidakseimbangan otot pada postur akibat kifosis terjadi karena panjang dan kekuatan otot antara otot agonist dan antagonist tidak seimbang sebagai akibat dari adaptasi atau disfungsi dari sikap postur yang salah. Seperti ketidakseimbangan otot secara fungsional atau patologikal. Ketidakseimbangan fungsional otot terjadi sebagai respon adaptasi dari pola gerak yang kompleks meliputi ketidakseimbangan pada kekuatan atau fleksibilitas grup otot antagonist pada sikap postur yang salah karena aktivitas atau olahraga yang tidak menimbulkan nyeri. sedangkan Ketidakseimbangan patologikal otot berkaitan dengan disfungsi dan nyeri atau tidak nyeri, biasanya diakibatkan oleh traumatik atau injury akibat aktivitas atau olahraga. Pada postur kifosis termasuk dalam ketidakseimbangan fungsional otot, yang terjadi karena proses adaptasi sikap postur salah yang menimbulkan stabilitas antara otot paraspinal dan otot dada serta otot abdominal tidak seimbang (Janda, 2010). Secara spesifik ketidakseimbangan antara fleksibilitas dan ekstensibilitas otot pada otot anterior dan posterior tubuh akibat kifosis yaitu pada otot posterior tubuh yaitu m.upper trapezius menjadi tightness dan memendek, m. lower trapezius, m. serratus anterior, m. latissimus dorsi, m. teres major, dan m. rhomboid memanjang dan lemah, otot extensor torakal spine memanjang dan lemah, erector spine melemah dan tightness, serabut atas m. gluteus maximus mengalami tightness tetapi tidak cukup kuat, serabut bawah m. gluteus maximus memanjang dan lemah, serta m. hamstring memendek. Pada otot anterior tubuh seperti flexor servikal memanjang dan lemah, m. pectoralis mayor dan m. pectoralis minor memendek dan tightness, m. rectus abdominis dan m. obliques abdominis memendek, m. psoas mayor memanjang dan melemah, bagian bawah otot dinding anterior abdomen mengalami kelemahan (Paterson, 2008). 
Tightness dan weakness otot terjadi karena pengaruh dari komponen viscoelastic dan contractile otot. Komponen viscoelastic berhubungan dengan struktur extensibilitas otot, sedangkan komponen kontraktil berhubungan dengan input neurological.  Tightness otot secara otomatis menghambat otot antagonist menyebabkan ketidakseimbangan otot. Ketidakseimbangan otot ini menyebabkan disfungsi sendi yang menyebabkan ketidakseimbangan gaya. Disfungsi sendi menyebabkan buruknya pola gerak dan mengakibatkan kompensasi yaitu kelelahan awal yang menimbulkan overstress otot dan lemahnya stabilisasi yang memudahkan terjadinya injury. Tightness otot dipengaruhi oleh faktor panjang otot, irritability threshold, dan recruitment. Otot yang tightness biasanya lebih pendek dari normal, lebih rendahnya aktivasi threshold atau lebih rendahnya irritability threshold. Sedangkan weakness otot digambarkan sebagai hipotonus atau inhibisi. Secara fungsional, weakness otot dapat dihasilkan dari neuroflexixe atau perubahan adaptasi dan menghambat aktivasi pada pola gerak (Janda,2010).
 Kontraksi otot yang terus-menerus yang salah satunya disebabkan oleh postur kerja yang salah terutama yang terjadi pada kifosis akan menyebabkan otot mengalami ketegangan atau pemendekan. Ketegangan otot biasanya ditandai dengan adanya spasme otot dan rasa nyeri pada saat otot dipalpasi. Kondisi ini jika berlangsung lama akan dapat menimbulkan trigger point dalam serabut otot yang akan menimbulkan sindroma miofascial yang membuat otot mengalami penurunan performa akibat daya tahan dan kekuatan otot yang menurun (Lestari, 2010). 
Penurunan daya tahan dan kekuatan otot menurun diakibatkan karena adanya penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas otot akibat perlengketan fascia dan myofilamen dalam sarcomer taut band otot, dan peningkatan konsentrasi secara abnormal up level dari Ach akan menyebabkan kenaikan frekuensi miniature end plate potential (MEPP) taut band. Sehingga terjadi abnormal hiperkontraksi sel otot yang meningkatkan metabolisme lokal dan vasokontriksi kapiler karena aktivitas simpatik. Ketika ada aktivitas pekerjaan maka kedua faktor diatas akan menimbulkan hipoksia dan ischemic dalam sel otot yang akhirnya mengakibatkan penurunan pH lokal dan keluarnya substansi-substansi yang dapat menstimulasi aktivitas nociceptor otot dan dorsal horn medulla spinalis. Aktivitas nociceptor ini akan menimbulkan spasme, allodynia, hiperasthesia, dan mekanik hiperalghesia baik lokal maupun rujukan yang merupakan tanda khas sindroma miofascial. Tanda khas sindroma miofascial yang lain adalah penurunan kekuatan otot yang berlangsung secara tiba-tiba. Penurunan ini secara klinis sangat berkaitan dengan trigger point dalam otot tersebut. Ketika trigger point berhasil dinonaktifkan maka kekuatan otot secara instan akan kembali pulih. Penurunan kekuatan yang khas ini diduga akibat inhibisi komponen motorik yang reversible dan berasal dari level medulla spinalis (Lestari, 2010).
Kurva kifosis torakal yang berlebihan akan merubah keseimbangan seluruh tubuh pada kedua tungkai bawah dan kaki dan mempengaruhi mobilitas tulang belakang yang menghambat masing-masing sendi vertebrae untuk bergerak pada ROM maksimal (Briggs et al, 2007).
Kelemahan alignment skapula juga merupakan hubungan yang umum terjadi pada kifosis, kurva yang berlebihan menyebabkan tulang iga melebar dan berotasi ke atas sehingga skapula miring dan terlihat wing.
Wing skapula disebabkan oleh kelemahan otot serratus anterior dan lower trapezius yang menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan kelemahan stabilisator dinamik skapula yaitu pada otot rhomboid dan middle trapezius dan overaktif otot pectoralis mayor atau minor atau upper trapezius. Selain itu, overaktif atau dominannya kerja levator skapula atau rhomboid menyebabkan skapula berotasi ke bawah. Kesalahan alignment pada skapula ini dapat membahayakan fungsi shoulder joint sebagai akibat kedua skapula berotasi ke atas dan depresi skapula terhadap pengaruh fleksi shoulder. Kelemahan stabilitas skapula akan menyebabkan munculnya hump yaitu otot, kulit, dan lemak pada upper middle back terdorong keluar (Janda, 2010).
Selain itu terdapat beberapa potensi yang menyebabkan nyeri pada kifosis yaitu stress pada posterior longitudinal ligament, kelelahan otot erector spine torakal dan otot retractor skapular, thoracic outlet syndrome, dan upper crossed syndrome. Upper crossed syndrome  menimbulkan ketidakseimbangan pada panjang dan kekuatan otot skapular dan glenohumeral dan berkurangnya efektivitas stabilisasi dinamis dan pasif struktur glenohumeral (GH) joint pada fosa glenoidale menjadi lebih vertikal mengakibatkan kelemahan serratus anterior menyebabkan abduksi, rotasi dan wing skapula. Hal ini menyebabkan berkurangnya stabilitas levator skapula dan upper trapezius untuk meningkatkan aktivasi dalam mempertahankan glenohumeral (Janda, 2010).
Secara khas pada peningkatan kifosis torakal, protraksi skapula dan naik ke depan, dan glenohumeral joint internal rotasi. Dengan postur ini, otot pectoralis minor, levator skapula, dan shoulder internal rotator tegang, dan lateral rotator shoulder dan upward rotator skapula lemah dan memiliki daya tahan otot yang rendah. Disini tidak ada lebih panjangnya tegangan stabilisasi pada kapsul sendi superior dan coracohumeral ligament atau tekanan kompresi dari otot rotator cuff. Oleh karena itu, efek gravitasi cenderung menyebabkan tekanan inferior pada humerus. Selain itu peningkatan kurva kifosis torakal dapat mengakibatkan sindroma postural yaitu timbulnya nyeri yang disebabkan oleh deformitas secara mekanika atau penjepitan vaskular pada jaringan lunak normal yang ditimbulkan dari posisi lama dan menetap pada sikap tubuh yang salah. Sindroma ini dikarakteristikan dengan nyeri yang hilang timbul akibat provokasi beban statik pada jaringan normal. Pasien mengeluhkan nyeri yang berasal dari penekanan pada jaringan normal akibat deformitas postur (Dutton, 2002).
Problema nyeri yang timbul akibat kesalahan postur kifosis dapat diakibatkan adanya (Kisner and colby, 2007) :
a.       Ligament, kapsul facet, periosteum vertebra, otot, anterior duramater, dural sleeves, epidural areolar, adipose tissue, dan dinding pembuluh darah yang menginervasi dan merespon stimulus nociceptif terhadap rangsang nyeri.
b.      Endurance pada otot penting untuk mempertahankan postural kontrol yang menyangga postur untuk terus-menerus beradaptasi melawan tekanan fluktuatif. Gerakan berulang juga memerlukan respon otot untuk mengontrol aktivitas mengakibatkan otot mudah lelah dan terjadi mekanikal stress pada jaringan yang menimbulkan nyeri.
c.       Mekanikal stress menyebabkan nyeri pada jaringan yang sensitif seperti peregangan ligament atau kapsul sendi atau kompresi pembuluh darah menyebabkan distensi atau kompresi saraf yang mudah menimbulkan nyeri. Jika mekanikal stress melampaui kemampuan penyangga jaringan maka akan terjadi kerusakan pada jaringan yang menimbulkan inflamasi.
Sedangkan pada kurva kifosis torakal yang berlebihan akan menyebabkan diskus mengalami pemipihan pada bagian ventral dan pelebaran pada bagian dorsal, akibatnya nucleus terdorong dan terjebak pada bagian dorsal, serta membuat iritasi pada ligament longitudinal posterior dan radix. Hal ini akan menimbulkan keterbatasan gerak ektensi torakal karena adanya pemendekan ligament-ligament vertebralis dalam jangka waktu lama yang akan terjadi kontraktur pola non capsular pattern. Selain itu pada kapsul ligament terjadi pemanjangan pada satu sisi dan pada sisi lain kapsul ligament akan mengalami pemendekan sehingga memungkinkan tightness pada kapsul ligament tersebut dengan firm end feel. Kemudian akan diikuti gangguan mikrosirkulasi, dimana pada posisi statis, posisi yang menetap, akan menyebabkan spasme lokal pada ekstrafusal otot yang kemudian akan menyebabkan penjepitan mikrosirkulasi dan terjadi sirkulasi statis. Kurangnya suplai nutrisi pada jaringan otot menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik yang kemudian menyebabkan nyeri yang berlanjut menjadi spasme, spasme yang timbul akan menyebabkan inflamasi berulang pada jaringan otot, hal ini akan berlangsung menjadi suatu siklus (Viscous cyrcle). Spasme yang muncul sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap kemungkinan kerusakan jaringan/ cidera ulang, hal ini akan menimbulkan reaksi saraf nocisensorik berupa rendahnya ambang rangsang (tresshold) atau bahkan mencapai 0 sehingga terjadi hiperalgesia hingga allodynia (Pratiwi, 2009).
Selain itu pada kifosis akan terjadi hipomobiliti pada sendi intervertebral berdampak berkurangnya gerak costovertebral dan costotransversal joint sehingga timbul kontraktur pada costovertebral dan costotransversal joint, akibatnya mobilitas sangkar thorax juga akan berkurang. Sehingga terjadi keterbatasan gerak ekstensi, nyeri, spasme otot-otot ekstensor torakalis dan berkurangnya mobilitas sangkar thorax (Pratiwi, 2009).
Sangkar thorax mengembang ketika dada terangkat ke atas dan ke depan dengan posisi punggung tegak. Postur tubuh saat duduk atau berdiri dengan posisi membungkuk mengakibatkan rongga dada tertekan sehingga menekan otot diafragma dan abdominal yang menyebabkan kelemahan otot.
Ketidakseimbangan otot yang terjadi akibat tightness otot intercostalis dan weakness otot diafragma dan abdominal dapat mempengaruhi volume dan tekanan rongga torak. Kelemahan otot abdominal tidak dapat meningkatkan volume ekspirasi. Kelemahan upper back erector spine dan middle dan lower trapezius membatasi kemampuan ekspansi thorax dan volume kapasitas maksimal paru sehingga jumlah oksigen yang masuk tidak maksimal (Kendal et al, 2005).

 Postur kifosis dapat mengganggu seluruh sistem tubuh yaitu otot, sendi, ligament, kapsul sendi, sirkulasi darah, dan pernapasan. Hal utama yang menjadi titik permasalahan yaitu derajat kurva torakal yang berlebihan dan mengganggu keseimbangan otot postural, penurunan endurance, flexibilitas otot, penurunan mobilitas sendi, dan gangguan ekspansi thorax yang disebabkan oleh sikap tubuh yang tidak benar saat berdiri, berjalan, duduk, dan tidur.
 


0 comments:

Total Pageviews

Search

Informasi

Jika Anda membutuhkan konsultasi terkait fisioterapi silahkan menghubungi melalui email physio.yuli@gmail.com

Artikel Populer