Sindroma
Terowongan Karpal (CTS) merupakan suatu entrapment
neuropathy yang paling sering terjadi, biasanya unilateral pada tahap awal
dan dapat menjadi bilateral. Entrapment neuropathy adalah trauma
saraf perifer terisolasi yang terjadi pada lokasi tertentu dimana secara
mekanis mengalami tekanan oleh terowongan jaringan ikat atau tulang
rawan atau adanya deformitas oleh suatu jaringan. Pada CTS ini terjadi entrapment
neuropathy yang bersifat kronik pada n medianus yang menginervasi
kulit telapak tangan, punggung tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari
tengah, dan setengah sisi radial jari manis pada saat melalui Terowongan karpal.
CTS merupakan patologi yang paling
umum terjadi hal ini dibuktikan dengan angka kejadianya yaitu 1- 3 kasus per seribu
orang pertahunya dengan prevalensi sekitar 50 kasus dari 1.000 sampel pada
populasi umum pertahunnya.
Angka
Kejadian dapat meningkat menjadi 150 kasus dari seribu sample pertahunnya,
dengan
prevalensi lebih besar yaitu meningkat menjadi 500 kasus dari 1.000 sampel pada
kelompok yang memiliki resiko tinggi terkena CTS. Sebuah studi juga
mengatakan bahwa 3 dari 10000 pekerja kehilangan waktu kerja karena menderita CTS
(Asworth, 2011)
Terowongan
karpal itu sendiri adalah suatu terowongan
kecil yang terdapat dibagian sentral pergelangan tangan dimana di bentuk oleh, tulang carpalia sebagai
dasar dan sisi terowongan yang keras dan kaku serta atapnya di bentuk oleh flexor
retinaculum (ligamentum carpi transversum dan ligamentum carpi palmare),
selain n. medianus yang berasal dari segmen, Terowongan karpal juga di
lewati sembilan tendon fleksor jari - jari. Ada beberapa faktor resiko dari CTS
yaitu dari aktifitas sehari-hari contohnya mengetik komputer, memeras baju,
mengendarai motor, melukis, menulis dan menjahit dengan tangan tentunya aktifitas
tersebut banyak melibatkan gerak fleksi wrist yang terus menerus.
Degenerasi juga dapat menjadi
faktor resiko dari CTS, hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukanya
“kasus CTS pada populasi manusia antara usia 45-64 tahun dan hanya 10% dari
penderita CTS yang berusia di bawah 31 tahun. Beberapa patologi pun dapat
menjadi faktor resiko dari CTS diantaranya tumor dan rheumatoid athriritis.
(Werner,
2009)
Penekanan nervus yang
berulang-ulang dapat mengakibatkan venousstasis yang menyebabkan darah
didalam saraf,
yang
mengandung sisa metabolisme sulit untuk keluar hal ini juga menyebabkan
darah dari luar saraf yang mengandung oksigen tidak dapat masuk kedalam
saraf akibatnya pasokan darah menurun sehingga serabut saraf akan
mengalami hipoksia.
Pada Serabut saraf yang
mengalami hipoksia akan terjadi peningkatan permeabilitas membran sel
neural sehingga sangat mudah dilalui oleh impuls saraf dan pada akhirnya,
berakibat timbulnya paraesthesia. Selain paraesthesia, hipoksia
dalam serabut saraf juga dapat mengakibatkan kerusakan lapisan sel
endothelial dan terjadi inflamasi yang dapat memicu pelepasan zat-zat iritan
(algogen) yaitu histamin, bradikinin, prostagalandin dan lain-lain yang dapat
meningkatkan stimulus serabut saraf polimodal akibatnya thresshold menurun
dan mengakibatkan sensitisasi saraf yang di tandai hiperalgesia yang lama
kelamaan menjadi allodynia sehingga terjadi neurophatik pain.
Inflamasi juga di tandai dengan
timbulnya oedeme karena kebocoran protein, oedeme tersebut
mengakibatkan tekanan intrafasikular meningkat sehingga dapat menyebabkan
bertambahnya gangguan mikrosirkulasi dalam saraf dan terjadi penurunan axoplasmic
flow karena axoplasmic flow membutuhkan pasokan darah sebagai energi
untuk mengalirkan intraselular material tanpa pasokan darah, maka axoplasmic
flow akan melambat,
karena
sirkulasi yang kurang baik maka proses inflamasi dan penyembuhan jaringan akan
berlangsung lama sehingga menjadi inflamasi kronik dan oedeme epineural
pada saraf pun akan berlangsung lama dan terus menerus.
Hal tersebut memicu aktifnya proses
proliferasi fibroblastik yaitu proses pembentukan jaringan fibrosis intraneural
pada jaringan epineural dan intrafasikular kemudian fibrosis dapat kembali
menyebabkan peningkatan tekanan intraneural kembali, proses ini disebut siklus
iritasi, bila proses ini terjadi dalam waktu lama maka akan memicu pembentukan scar
tissue.
Scar tissue
tersebut dapat mengakibatkan penurunan elastisitas serabut saraf. Scar
tissue juga dapat mengaktifkan ectopic discharge yang memicu aksi
potensial yang akan diterima oleh serabut saraf nociceptif nervi nervorum yang
kemudian akan dihantarkan ke dorsal horn sehingga akan timbul nyeri yang
bersifat kronik.
Apabila saraf itu diregang maka
akan timbul nerve tension pain. Selain itu scar tissue atau
dikenal dengan neurofibrosis juga dapat menimbulkan paraesthesia menetap.
Terjadinya penekanan n. medianus pada CTS melibatkan beberapa struktur
jaringan spesifik yaitu yang terjadi secara primer karena penebalan dari
ligamen carpi transversum akibat degenerasi sehingga kadar air dalam
matriks menurun akibatnya kelenturan jaringan menurun dan terjadi
kontraktur yang akan menekan n.medianus dalam Terowongan karpal.
Selain melibatkan tendon
fleksor yang mengalami proses immuno reaction dari inflamasi yang
kemudian terjadi adhesi dan penebalan yang dapat dapat menimbulkan
penekanan pada n. medianus hal ini biasa diakibatkan overuse atau rhemathoid
arthritis selain itu subluksasi os.lunatum pun dapat terlibat dalam penyempitan
Terowongan karpal.
Gangguan gerak dan fungsi yang
terjadi pada CTS adalah nyeri dan paraesthesia yang menyebar ke
kulit telapak tangan, punggung tangan didaerah ibu jari, telunjuk, jari
tengah, dan setengah sisi radial jari manis terutama saat posisi wrist
palmar fleksi, nyeri akan terasa lebih berat pada malam hari
kemudian berkurang setelah tangan digoyang-goyangkan atau diletakan di
atas bahu.
Untuk mengatasi hal-hal diatas maka
beberapa tenaga medis ikut terlibat dalam penangananya terutama fisioterapi
yang lebih memfokuskan terhadap pemulihan gerak dan fungsi sesuai dengan yang
tercantum dalam General Meeting of Physical Therapist ( WPCT, 2011) dikemukakan
bahwa:
“Physical
therapy provides services to individuals and population to develop, maintain
and restore maximum movement and functional ability throughout the lifespan.
This includes providing services in circumstances where movement and function
are threatened by ageing, injury, diseases, disorders, conditions or
enviromental factors. Functional movement is central to what it means to be
healthy”.
Oleh sebab itu sesuai dengan hal
diatas maka fisioterapi sebagi tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan
kesehatan yang meliputi empat hal yaitu promotif, preventif,
kuratif
dan rehabilitatif dan bertujuan untuk memulihkan dan mengembalikan gerak dan
fungsi seseorang sehingga keadaan sehat dapat tercapai serta aktifitas kerja
menjadi tidak terhambat.
Fisioterapi memiliki banyak cara
dalam penanganan masalah-masalah yang di timbulkan oleh CTS diantaranya
dengan mengaplikasikan beberapa modalitas elektroterapi yaitu MWD, US, TENS,
dan IFC selain itu juga dapat diaplikasikan metode-metode manual terapi yang
tepat diantaranya adalah massage, stretching ligament carpi transversum,
stretching tendon fleksor jari-jari tangan, neural mobilization dan dengan metode latihan nerve gliding
exercise. Tetapi pada penelitian ini penulis mencoba memadukan
metode-metode intervensi dengan elektroterapi dan manual terapi.
Pemberian modalitas
elektroterapinya yaitu dengan Microwave Diathermy (MWD) merupakan tindakan
efektif terhadap nyeri akibat trauma ataupun degeneratif. Efek teraupetik
dengan pemasan lokal akan menimbulkan peningkatan proses metabolisme lokal,
penyerapan zat-zat iritan dan parasthesia hasil inflamasi kronik, sensasi
hangat menimbulkan efek sedative sehingga nyeri dan parasthesia berkurang.
Ultrasound yang
merupakan alat yang menghasilkan arus bolak-balik berfrekuensi tinggi yang
dirubah menjadi gelombang suara oleh piezoelektrik,
pada
CTS alat ini bertujuan untuk melepaskan perlengketan jaringan yang
terjadi pada n.medianus,
ligamen
carpi transversum dan tendon fleksor dengan micromassage yang
ditimbulkan oleh efek mekanik, dan micromassage juga dapat menimbulkan
efek termal pada jaringan yang akan mengakibatkan efek vasodilatasi pada
pembuluh darah saraf tepi sehingga sirkulasi darah meningkat dan dapat
mempercepat proses penyembuhan inflamasi kronik yang terjadi pada n. medianus.
Salah satu exercise yang untuk
mengurangi nyeri dan kemampuan fungsional pergelangan tangan pada CTS adalah nerve gliding exercise yang bertujuan untuk melepas penekanan dan
mengembalikan mobilitas n.medianus.
Berdasarkan berbagai uraian yang
telah dikemukakan diatas maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan
meniliti lebih dalam melalui penelitian yang akan dipaparkan dalam bentuk
skripsi yang berjudul “ Efek Penambahan Nerve
Gliding Exercise Pada Intervensi MWD dan US
Terhadap Penurunan Nyeri Pada Kasus CTS.