Kifosis dapat dialami oleh
usia anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut baik pada pria maupun wanita. Postur
kifosis ini dapat disebabkan oleh bawaan lahir, kesalahan tubuh dalam bersikap
pada saat bekerja, beraktivitas, dan dapat juga disebabkan oleh posisi sikap
pada saat berolahraga dengan posisi membungkuk lama dan menetap (Briggs
et al, 2007). Pada posisi duduk membungkuk, posisi pelvik tilting ke
posterior yang menyebabkan berkurangnya kurva lordosis lumbal dan kurva kifosis
torakal meningkat disertai forward
head position dan shoulder protraksi dan internal rotasi (Janda, 2010).
Kifosis
yang ditandai dengan peningkatan kurva kifosis torakal, protraksi shoulder dan
internal rotasi shoulder, dan disertai forward
head position, menyebabkan ketidakseimbangan otot yaitu upper crossed syndrome. Upper crossed syndrome yaitu dimana
terjadinya tightness pada upper trapezius
dan levator skapula pada dorsal bersilangan dengan tightness pada
pectoralis mayor dan minor. Kelemahan pada deep servikal flexor pada ventral
bersilangan dengan kelemahan pada middle dan lower trapezius. Pola imbalance
ini menyebabkan joint dysfunction, terutama pada atlanto-occipital joint,
segment C4-C5, cervicothoracic joint, glenohumeral joint, dan segment T4-T5.
Perubahan postur yang terlihat pada upper
crossed syndrome yaitu forward head
position, peningkatan kurva lordosis servikal dan kifosis torakal, elevasi
dan protraksi shoulder dan rotasi atau abduksi dan wing skapula (Janda. 2010).
Ketidakseimbangan otot pada
postur akibat kifosis terjadi karena panjang dan kekuatan otot antara otot
agonist dan antagonist tidak seimbang sebagai akibat dari adaptasi atau
disfungsi dari sikap postur yang salah. Seperti ketidakseimbangan otot secara
fungsional atau patologikal. Ketidakseimbangan fungsional otot terjadi sebagai
respon adaptasi dari pola gerak yang kompleks meliputi ketidakseimbangan pada
kekuatan atau fleksibilitas grup otot antagonist pada sikap postur yang salah
karena aktivitas atau olahraga yang tidak menimbulkan nyeri. sedangkan
Ketidakseimbangan patologikal otot berkaitan dengan disfungsi dan nyeri atau
tidak nyeri, biasanya diakibatkan oleh traumatik atau injury akibat aktivitas
atau olahraga. Pada postur kifosis termasuk dalam ketidakseimbangan fungsional
otot, yang terjadi karena proses adaptasi sikap postur salah yang menimbulkan
stabilitas antara otot paraspinal dan otot dada serta otot abdominal tidak
seimbang (Janda, 2010). Secara spesifik
ketidakseimbangan antara fleksibilitas dan ekstensibilitas otot pada otot
anterior dan posterior tubuh akibat kifosis yaitu pada otot posterior tubuh
yaitu m.upper trapezius menjadi tightness dan memendek, m. lower trapezius, m.
serratus anterior, m. latissimus dorsi, m. teres major, dan m. rhomboid
memanjang dan lemah, otot extensor torakal spine memanjang dan lemah, erector
spine melemah dan tightness, serabut atas m. gluteus maximus mengalami
tightness tetapi tidak cukup kuat, serabut bawah m. gluteus maximus memanjang
dan lemah, serta m. hamstring memendek. Pada otot anterior tubuh seperti flexor
servikal memanjang dan lemah, m. pectoralis mayor dan m. pectoralis minor
memendek dan tightness, m. rectus abdominis dan m. obliques abdominis memendek,
m. psoas mayor memanjang dan melemah, bagian bawah otot dinding anterior
abdomen mengalami kelemahan (Paterson, 2008).
Tightness dan weakness otot
terjadi karena pengaruh dari komponen viscoelastic dan contractile otot. Komponen
viscoelastic berhubungan dengan struktur extensibilitas otot, sedangkan
komponen kontraktil berhubungan dengan input neurological. Tightness otot secara otomatis menghambat otot
antagonist menyebabkan ketidakseimbangan otot. Ketidakseimbangan otot ini
menyebabkan disfungsi sendi yang menyebabkan ketidakseimbangan gaya. Disfungsi sendi menyebabkan buruknya pola gerak
dan mengakibatkan kompensasi yaitu kelelahan awal yang menimbulkan overstress
otot dan lemahnya stabilisasi yang memudahkan terjadinya injury. Tightness otot
dipengaruhi oleh faktor panjang otot, irritability
threshold, dan recruitment. Otot
yang tightness biasanya lebih pendek dari normal, lebih rendahnya aktivasi
threshold atau lebih rendahnya irritability
threshold. Sedangkan weakness otot digambarkan sebagai hipotonus atau
inhibisi. Secara fungsional, weakness otot dapat dihasilkan dari neuroflexixe atau perubahan adaptasi dan
menghambat aktivasi pada pola gerak (Janda,2010).
Kontraksi otot yang
terus-menerus yang salah satunya disebabkan oleh postur kerja yang salah terutama yang terjadi pada kifosis akan
menyebabkan otot mengalami ketegangan atau pemendekan. Ketegangan otot biasanya
ditandai dengan adanya spasme otot dan rasa nyeri pada saat otot dipalpasi.
Kondisi ini jika berlangsung lama akan dapat menimbulkan trigger point dalam serabut otot yang
akan menimbulkan sindroma miofascial yang membuat otot mengalami penurunan
performa akibat daya tahan dan kekuatan otot yang menurun (Lestari, 2010).
Penurunan daya tahan dan
kekuatan otot menurun diakibatkan karena adanya penurunan ekstensibilitas dan
fleksibilitas otot akibat perlengketan fascia
dan myofilamen dalam sarcomer taut band otot, dan peningkatan
konsentrasi secara abnormal up level dari Ach akan menyebabkan kenaikan frekuensi miniature end plate
potential (MEPP) taut band. Sehingga terjadi abnormal
hiperkontraksi sel otot yang meningkatkan metabolisme lokal dan vasokontriksi
kapiler karena aktivitas simpatik. Ketika ada aktivitas pekerjaan maka kedua
faktor diatas akan menimbulkan hipoksia dan ischemic dalam sel otot yang
akhirnya mengakibatkan penurunan pH lokal dan keluarnya substansi-substansi
yang dapat menstimulasi aktivitas nociceptor
otot dan dorsal horn medulla
spinalis. Aktivitas nociceptor ini
akan menimbulkan spasme, allodynia, hiperasthesia, dan mekanik hiperalghesia
baik lokal maupun rujukan yang merupakan tanda khas sindroma miofascial. Tanda
khas sindroma miofascial yang lain adalah penurunan kekuatan otot yang
berlangsung secara tiba-tiba. Penurunan ini secara klinis sangat berkaitan
dengan trigger point dalam otot
tersebut. Ketika trigger point berhasil
dinonaktifkan maka kekuatan otot secara instan akan kembali pulih. Penurunan
kekuatan yang khas ini diduga akibat inhibisi komponen motorik yang reversible
dan berasal dari level medulla
spinalis (Lestari, 2010).
Kurva kifosis torakal yang
berlebihan akan merubah keseimbangan seluruh tubuh pada kedua tungkai bawah dan
kaki dan mempengaruhi mobilitas tulang belakang yang menghambat masing-masing
sendi vertebrae untuk bergerak pada ROM maksimal (Briggs et al, 2007).
Kelemahan alignment skapula
juga merupakan hubungan yang umum terjadi pada kifosis, kurva yang berlebihan
menyebabkan tulang iga melebar dan berotasi ke atas sehingga skapula miring dan
terlihat wing.
Wing skapula disebabkan oleh kelemahan otot
serratus anterior dan lower trapezius yang menyebabkan ketidakseimbangan yang
mengakibatkan kelemahan stabilisator dinamik skapula
yaitu pada otot rhomboid dan middle trapezius dan overaktif otot pectoralis
mayor atau minor atau upper trapezius. Selain itu, overaktif atau dominannya
kerja levator skapula atau rhomboid menyebabkan skapula berotasi ke bawah.
Kesalahan alignment pada skapula ini dapat membahayakan fungsi shoulder joint
sebagai akibat kedua skapula berotasi ke atas dan depresi skapula terhadap
pengaruh fleksi shoulder. Kelemahan stabilitas skapula akan menyebabkan
munculnya hump yaitu otot, kulit, dan lemak pada upper middle back terdorong keluar (Janda, 2010).
Selain
itu terdapat beberapa potensi yang menyebabkan nyeri pada kifosis yaitu stress
pada posterior longitudinal ligament, kelelahan otot erector spine torakal dan
otot retractor skapular, thoracic outlet syndrome, dan upper crossed syndrome. Upper
crossed syndrome menimbulkan
ketidakseimbangan pada panjang dan kekuatan otot skapular dan glenohumeral dan
berkurangnya efektivitas stabilisasi dinamis dan pasif struktur glenohumeral
(GH) joint pada fosa glenoidale menjadi lebih vertikal mengakibatkan kelemahan
serratus anterior menyebabkan abduksi, rotasi dan wing skapula. Hal ini
menyebabkan berkurangnya stabilitas levator skapula dan upper trapezius untuk
meningkatkan aktivasi dalam mempertahankan glenohumeral (Janda, 2010).
Secara
khas pada peningkatan kifosis torakal, protraksi skapula dan naik ke depan, dan
glenohumeral joint internal rotasi. Dengan postur ini, otot pectoralis minor,
levator skapula, dan shoulder internal rotator tegang, dan lateral rotator shoulder
dan upward rotator skapula lemah dan memiliki daya tahan otot yang rendah. Disini tidak
ada lebih panjangnya tegangan stabilisasi pada kapsul sendi superior dan
coracohumeral ligament atau tekanan kompresi dari otot rotator cuff. Oleh
karena itu, efek gravitasi cenderung menyebabkan tekanan inferior pada humerus.
Selain itu peningkatan kurva kifosis torakal dapat mengakibatkan sindroma
postural yaitu timbulnya nyeri yang disebabkan oleh deformitas secara mekanika
atau penjepitan vaskular pada jaringan lunak normal yang ditimbulkan dari
posisi lama dan menetap pada sikap tubuh yang salah. Sindroma ini
dikarakteristikan dengan nyeri yang hilang timbul akibat provokasi beban statik
pada jaringan normal. Pasien mengeluhkan nyeri yang berasal dari penekanan pada
jaringan normal akibat deformitas postur (Dutton, 2002).
Problema
nyeri yang timbul akibat kesalahan postur kifosis dapat diakibatkan adanya (Kisner
and colby, 2007) :
a.
Ligament, kapsul facet,
periosteum vertebra, otot, anterior duramater, dural sleeves, epidural areolar,
adipose tissue, dan dinding pembuluh darah yang menginervasi dan merespon
stimulus nociceptif terhadap rangsang nyeri.
b.
Endurance pada otot penting
untuk mempertahankan postural kontrol yang menyangga postur untuk terus-menerus
beradaptasi melawan tekanan fluktuatif. Gerakan berulang juga memerlukan respon
otot untuk mengontrol aktivitas mengakibatkan otot mudah lelah dan terjadi
mekanikal stress pada jaringan yang menimbulkan nyeri.
c.
Mekanikal stress menyebabkan
nyeri pada jaringan yang sensitif seperti peregangan ligament atau kapsul sendi
atau kompresi pembuluh darah menyebabkan distensi atau kompresi saraf yang
mudah menimbulkan nyeri. Jika mekanikal stress melampaui kemampuan penyangga
jaringan maka akan terjadi kerusakan pada jaringan yang menimbulkan inflamasi.
Sedangkan pada kurva kifosis
torakal yang berlebihan akan menyebabkan diskus mengalami pemipihan pada bagian ventral dan pelebaran
pada bagian dorsal, akibatnya nucleus terdorong dan terjebak pada bagian
dorsal, serta membuat iritasi pada ligament longitudinal posterior dan radix.
Hal ini akan menimbulkan keterbatasan gerak ektensi torakal
karena adanya pemendekan ligament-ligament vertebralis dalam jangka waktu lama
yang akan terjadi kontraktur pola non
capsular pattern. Selain itu pada kapsul ligament terjadi pemanjangan pada
satu sisi dan pada sisi lain kapsul ligament akan mengalami pemendekan sehingga
memungkinkan tightness pada kapsul ligament tersebut dengan firm end feel. Kemudian akan diikuti
gangguan mikrosirkulasi, dimana pada posisi statis, posisi yang menetap, akan
menyebabkan spasme lokal pada ekstrafusal otot yang kemudian akan menyebabkan
penjepitan mikrosirkulasi dan terjadi sirkulasi statis. Kurangnya suplai
nutrisi pada jaringan otot menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik yang
kemudian menyebabkan nyeri yang berlanjut menjadi spasme, spasme yang timbul
akan menyebabkan inflamasi berulang pada jaringan otot, hal ini akan berlangsung
menjadi suatu siklus (Viscous cyrcle). Spasme yang muncul sebagai mekanisme
pertahanan diri terhadap kemungkinan kerusakan jaringan/ cidera ulang, hal ini
akan menimbulkan reaksi saraf nocisensorik berupa rendahnya ambang rangsang
(tresshold) atau bahkan mencapai 0 sehingga terjadi hiperalgesia hingga
allodynia (Pratiwi, 2009).
Selain itu pada kifosis akan
terjadi hipomobiliti pada sendi intervertebral berdampak berkurangnya gerak
costovertebral dan costotransversal joint sehingga timbul kontraktur pada costovertebral
dan costotransversal joint, akibatnya mobilitas sangkar thorax juga akan berkurang. Sehingga terjadi keterbatasan gerak
ekstensi, nyeri, spasme otot-otot ekstensor torakalis dan berkurangnya
mobilitas sangkar thorax (Pratiwi, 2009).
Sangkar thorax mengembang ketika dada terangkat
ke atas dan ke depan dengan posisi punggung tegak. Postur tubuh saat duduk atau
berdiri dengan posisi membungkuk mengakibatkan rongga dada tertekan sehingga
menekan otot diafragma dan abdominal yang menyebabkan kelemahan otot.
Ketidakseimbangan otot yang terjadi akibat tightness otot intercostalis
dan weakness otot diafragma dan abdominal dapat mempengaruhi volume dan tekanan
rongga torak. Kelemahan otot abdominal tidak dapat meningkatkan volume
ekspirasi. Kelemahan upper back erector spine dan middle dan lower trapezius
membatasi kemampuan ekspansi thorax dan volume kapasitas maksimal
paru sehingga jumlah oksigen yang masuk tidak maksimal (Kendal et al, 2005).
Postur kifosis dapat
mengganggu seluruh sistem tubuh yaitu otot, sendi, ligament, kapsul sendi,
sirkulasi darah, dan pernapasan. Hal utama yang menjadi titik permasalahan
yaitu derajat kurva torakal yang berlebihan dan mengganggu keseimbangan otot
postural, penurunan endurance, flexibilitas otot, penurunan mobilitas sendi,
dan gangguan ekspansi thorax yang disebabkan oleh sikap tubuh yang tidak benar
saat berdiri, berjalan, duduk, dan tidur.
0 comments:
Post a Comment